Bangun Pusat Peradaban, Demer: Jangan Bikin Beban dan Museumkan Budaya Bali
JAKARTA, MataDewata.com | Menyikapi rencana pembangunan kawasan Pusat Kebudayaan Bali (PKB) oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali di eks galian C Gunaksa, Kabupaten Klungkung, membuat Wakil Ketua Komisi VI DPR RI, Gde Sumarjaya Linggih, SE.,M.AP., akhirnya angkat bicara. Ia menyampaikan selain Pemprov Bali akan berhutang kedepan juga akan dibebani biaya pemeliharaan yang besar.
Gde Sumarjaya Linggih yang akrab disapa Demer ini sebagai elemen masyarakat Bali sangat memahami dan mengapresiasi gagasan Pemprov Bali dengan adanya rencana pembangunan kawasan PKB sebagai upaya pemajuan dan penguatan kebudayaan masyarakat Bali. Apalagi ini diklaim sebagai upaya untuk mengangkat martabat kebudayaan Bali sebagai Pusat Peradaban Dunia atau Padma Bhuwana sesuai dengan visi Nangun Sat Kerthi Loka Bali melalui Pola Pembangunan Semesta Berencana menuju Bali Era Baru.
“Namun demikian, kita semua perlu menginterpretasikan kembali soal kebudayaan Bali. Kebudayaan di Bali ini kebudayaan yang hidup dalam masyarakat Bali dan tersebar di mana-mana di seluruh Bali. Oleh sebab itu, maka konsep pembangunan kebudayaan Bali itu haruslah menyebar dan merata di seluruh Bali. Tidak terpusat,” ujar Demer.
“Dalam hitung-hitungan anggaran jika rencana pembangunan pusat kebudayaan itu dilakukan, maka pertama akan memakan biaya yang katanya sebesar Rp2,5 triliun melalui dana pinjaman Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Kedua, tentu saja akan menggerus keuangan Daerah sebagai biaya pemeliharaannya,” tambahnya sembari mengajak agar kembali berfikir bahwa kebudayaan masyarakat Bali itu sebagai segala sesuatu yang hidup dan berkembang dalam perilaku kehidupan masyarakat Bali sehari-hari.
“Menurut saya, justeru inilah yang harus dilestarikan. Bayangkan kalau dana sebesar Rp2,5 triliun katakanlah dibagi menjadi 25 miliar per pusat-pusat kebudayaan Bali sekarang ini, maka terdapat 100 titik pusat-pusat kebudayaan masyarakat Bali yang bisa diperkuat melalui beragam program,” jelasnya seraya menegaskan dangat memahami tujuan pembangunan Pusat Kebudayaa Bali yang direncanakan oleh Pemprovi Bali dalam rangka memperkuat dan menjaga kelestarian kebudayaan Bali.
Lanjut Demer, andaikan dana tersebut digunakan untuk memperkuat pusat-pusat kebudayaan yang sudah ada, misalnya Desa Panglipuran, Desa Tenganan, Pura Besakih dan lain-lain, maka kebudayaan masyarakat Bali yang menjadi bagian dari keseharian hidup masyarakat Bali akan semakin baik. Sehingga tidak perlu menggerus anggaran daerah untuk biaya pemeliharaan karena berbentuk bangunan fisik baru.
Justru dengan memberikan suntikan dana pada pusat-pusat kebudayaan yang hidup dalam masyarakat itu, dengan sendirinya akan dipelihara oleh masyarakat. Titik-titik kebudayaa ini akan menjadi destinasi kebudayaan baru atau akan meningkatkan kunjungan wisatawaan pada pusat-pusat kebuayaan yang sudah ada. Pemasukan dari kunjungan wisatawan ini, sebagian dapat dialokasikan sebagai biaya pemeliharaan.
“Saya berikan contoh konkret, misalnya Desa Panglipuran diberikan dana sebesar Rp25 miliar untuk memperbaikan infrastrukturnya. Dana tersebut misalnya digunakan untuk membangun jaringan listrik bawah tanah. Sehingga tak perlu lagi menggunakan kabel yang melintas di atas yang tampak tidak selaras dengan bangunan tradisional yang ada di sana,” jelas politisi senior Partai Golkar asal Desa Tajun, Buleleng itu.
Masih terkait Desa Panglipuran yang dijadikan contoh, bisa dibangun saluran drainase dan saluran air bersih yang bagus. Dibuatkan toilet umum serasi dengan corak bangunan tradisional yang ada di kawasan tersebut. Bisa juga dibuatkan semacam bangunan ruang transit tradisional sebagai tempat persinggahan sebelum maupun sesudah wisatawan melakukan perjalanan keliling kawasan desa. Termasuk memperbaiki fasilitas rumah-rumah penduduk agar layak dijadikan sebagai tempat menginap wisatawan.
Maka dengan cara seperti itu, justru budayanya akan terjaga begitu pula kebersihan dan kesehatannya sehingga tidak perlu lagi pemerintah daerah mengeluarkan biaya pemeliharaan setiap tahun. Karena ia akan hidup dan bertahan akibat dampak dari kunjungan wisatawan. Dukungan dari penguatan ini tentunya akan terus berkesinambungan secara alamiah. Adat dan budayanya juga terpelihara, sejalan dengan siklus ekonomi yang digerakkan.
“Jadi, menurut pandangan saya seperti itu. Mudah-mudahan padangan ini dapat menjadi masukan bagi Pemerintah Daerah Provinsi Bali. Dan tentunya, saya pun akan memberikan masukan kepada pemerintah pusat, termasuk memberikan masukan kepada Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), Bapak Airlangga Hartarto,” ujar legislator senior DPR-RI yang duduk di Komisi VI itu.
“Sekali lagi saya tegaskan, saya memahami dan mendukung upaya Pemerintah Provinsi Bali dalam upaya memajukan kebudayaan Bali. Akan tetapi, kita mesti mecari jalan yang terbaik. Yakni pendekatan yang tepat sasaran, efektif dan efisian. Kebudayaan terpelihara, ekonomi juga semakin kuat,” tandasnya.
Diharapkan dengan konsep yang ia tawarkan tersebut, maka akan terjadi pemerataan dalam upaya menghidupkan dan menguatkan titik-titik kebudayaan masyarakat Bali. Memperkuat argumentasinya, satu hal lagi contoh diberikan. Untuk menjaga kelestarian budaya pertanian di Jatiluwih misalnya. Andaikan diberikan dana sebesar Rp25 miliar, maka masyarakat di sana bisa menggunakannya untuk terus mejaga kelestarian tanah sering (telasering), pertanian organik, subak dan lain-lain.
Tidak hanya itu, desa-desa yang memiliki kesenian menonjol berupa tari-tarian atau seni lainnya, juga dapat dikategorikan sebagai obyek penerima dana stimulan ini. “Gunakan dana tersebut untuk membangun berbagai fasilitas penunjang serta pemajuan kesenian yang ada di sana. Andaikan pun wisatawan ingin menyaksikan pertunjukan, maka dapat hadir secara langsung di tempat tersebut. Ini akan lebih bagus sebagai upaya pemerataan perkembangan kebudayaan sekaligus pemerataan ekonomi masyarakat Bali di bidang pariwisata,” saran DPR RI empat periode itu.
Maidsetnya harus dipahami kebudayaan itu sesuatu yang hidup dalam masyarakat, bukan sesuatu yang dimusiumkan atau dipajang dalam satu gedung untuk dipertontonkan. Suatu kebudayaan yang masih hidup dalam masyarakat harus dipertahankan, jangan dimuseumkan. Akan lebih baik lagi di desa-desa atau tempat yang memiliki kebudayaan yang menunjol sebagai sasaran program penguatan kebudayaan ini dibuakan musemum kecil. “Katakanlah dana yang Rp25 miliar per titik seperti yang saya sampaikan di atas, Rp5 miliar dipakai untuk membuat museum. Jadi, orang yang berkunjung ke desa tersebut, selain menyaksikan berbagai pertunjukan dan menyaksikan kehidupan masyarakat sekitar, meraka dapat mampir di museum untuk mendapatkan gambaran sejarahnya seperti apa. Dengan konsep seperti ini, maka kebudayaan masyarakat Bali akan semakin kuat,” tegas Demer.
Sebagai penutup Demer mengajak, biarkan kebudayaan masyarakat Bali yang masih hidup berjalan dengan alami. Diharapkan apa yang telah direncanakan dapat ditinjau kembali, sebab disadari tidak ada rencana yang bisa dikatanan sempurna. Meskipun sudah diputuskan, tidak ada salahnya untuk diperbaiki dengan dasar niat baik untuk memajukan kebudayaan Bali. “Kecuali kitab suci, tak ada yang tak dapat direvisi,” celotehnya. Dm-MD