Kebijakan FCC Tiga Zona Dinilai Tidak Adil dan Accomodasi Centris
BADUNG, MataDewata.com | Pemerhati Pariwisata, I Wayan Puspa negara, SP.,MSi., mengatakan, Kebijakan FCC (Free Covid Coridor) pada tiga zona (Nusa Dua, Sanur dan Ubud) dinilai sebagai kebijakan yang tidak adil dan accomodasi centris.
“Ini sebuah kebijakan elitis/borjuis pariwisata yang sangat parsial, karena hanya melihat pariwisata sebagai sebuah akomodasi parsial dan hanya melihat pariwisata itu hanya sebagai sebuah akomodasi (hotel dan restaurant) yang di buat FCC hanya Nusa Dua, Sanur dan Ubud,” ujar Puspa Negara di Badung, Rabu (17/3/2021).
Puspa Negara menegaskan, pemerintah lupa bahwa Bandara Ngurah Rai sebagai palang pintu utama dengan masyarakat penyokongnya yang harus di FCC terlebih dahulu. Mengingat Bandara berda di wilayah Kecamatan Kuta.
Demikian juga menurutnya, pariwisata itu bukan hanya hotel dan restaurant karena pariwisata elemennya sangat multi compleks. Dari destinasi (objek wisata) atraksi, transportasi, exibisi, akal, budhi/budaya, confrensi, biro perjalanan, supliyer hingga petani yang merawat alam.
“Menjadikan kebijakan FCC pada tiga zona itu memang terlihat tidak adil, sangat parsial dan tidak mau mencermati secara tajam bahwa pariwisata itu terintegras inter dan antara semua elemen, dan endingnya untuk rakyat,” jelas Puspa Negara.
Maka menurutnya yang harus di fahami adalah pariwisata kerakyatan, karena saat ini yang menderita dan lumpuh layu adalah rakyat yang bergelut langsung di sektor pariwisata. Kuta adalah pariwisata menyatunya turis dengan rakyat (kampung turis).
Bisa dibayangkan jika turis ke Bali apalagi domestik maka kurang puas mengunjungi Bali sebelum datang ke pantai Kuta, kehidupan pariwisata Kuta sangat Life Style dari pagi hingga pagi. Semua sarana dan prasarana pariwisata tersedia dikelola masyarakat termasuk destinasi pantai dikelola oleh Desa Adat.
Inilah yang sejatinya harus diselamatkan terlebih dahulu, bukanya para pelaku usaha pariwisata akomodasi elitis di Nusa Dua, Sanur dan Ubud. “Sekali lagi jika Bandara dan Kuta belum FCC maka kebijakan itu tidaklah berpihak pada masyarakat yang paling terdampak pandemi yakni masyarakat marginal pariwisata seperti sopir freelance, guide freelance, penjual souvenir, penukaran uang, penjualan pernak pernik, pedagang acung, persewaan sepeda, motor/mobil, tourist service, tukang pijit, hingga petani,” terangnya.
“Ini kaum marginal/diaspora yang harus di FCC terlebih dahulu. Dan yang pasti membuat kebijakan FCC harusnya terintegrasi antara Bandara, transportasi, driver, biro perjalanan wisata, akomodasi, restaurant/culinery, destinasi/objek wisata hingga masyarakat pendukung objek daya tarik di FCC,” tambahnya.
Sehingga ditegaskannya kembali, jika tidak maka ini dinilai sebagai kebijakan yang tidak adil, tidak komprehensif dan melukai hati rakyat marginal/diaspora yang bergelut di sektor pariwisata kerakyatan. Pn-MD