Pasal 108 KUHAP, Dasar Laporan Iwan atas JBS: Lebih Berat, Menyerang Lembaga Sulinggih Dibanding Perorangan

DENPASAR, MataDewata.com | Laporan secara perseorangan Nyoman Iwan Pranajaya atas akun Facebook JBS (Jro Bauddha Suena), dengan dugaan melanggar UU ITE, tetap sah walaupun yang diserang JBS adalah Sulinggih PHDI MS XII, bukan personal Iwan Pranajaya sebagai Pelapor. karena dasar pelaporannya adalah pasal 108 KUHAP. Kuasa hukum Iwan Pranajaya menegaskan, tidak mesti Sulinggih PHDI MS XII, yang oleh JBS dalam status Facebooknya disebut ‘’diam seperti Drona dan Bhisma di Korawa’’ dalam Mahabharata dan menjadi salah satu penyebab perang Bharata Yudha, karena yang disebut sebagai pelapor dalam pasal 108 KUHAP adalah:

(1) Setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan atau menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana berhak untuk mengajukan laporan atau pengaduan kepada penyelidik dan atau penyidik baik lisan maupun tertulis.

Ik-MD-T.c-PA//13/2022/f1

(2) Setiap orang yang mengetahui permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana terhadap ketenteraman dan keamanan umum atau terhadap jiwa atau terhadap hak milik wajib seketika itu juga melaporkan hal tersebut kepada penyelidik atau penyidik.

Jadi, yang melaporkan JBS tidak harus Sulinggih PHDI MS XII yang dituding ‘’diam seperti Drona dan Bhisma, tapi setiap orang yang melihat status JBS yang diduga merupakan tindak pidana, dalam hal ini tindak pidana pelanggaran UU ITE. Berhak melaporkannya, dan itu dilindungi Undang-undang. Harapannya jangan sampai masyarakat diberi pemahaman keliru, hanya Sulinggih PHDI MS XII yang berhak melaporkan JBS, lalu laporan pihak lain dianggap tidak berdasar undang-undang.

Demikian penegasan kuasa hukum yang mendampingi Pelapor JBS, Iwan Pranajaya saat melapor di Polda Bali,Minggu (31/8/2022), antara lain Made Dewantara Endrawan, SH., Ketut Artana, SH, MH., Putu Wirata Dwikora, SH., Made Rai Wirata, SH., dan Made Bandem Dananjaya, SH, MH., pada keterangan persnya, Jumat (5/8/2022).

‘’Karena Saudara Iwan melihat dan menyasikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, dia berhak mengajukan laporan ke Polda Bali. Dimana dilihat, jelas di akun Facebook JBS pada tanggal 16 Juli 2022. Tindak pidananya apa, adalah dugaan penghinaan, fitnah terhadap lembaga kesulinggihan, yaitu Sulinggih PHDI MS XII yang jelas ditulis dalam status JBS, disebut diam seperti Drona dan Bhisma, melakukan pembiaran, sebagai salah satu penyebab perang Bharata Yudha. Walaupun narasi JBS itu kutipan dari Itihasa Mahabharata, bukan alasan untuk membenarkan tindakannya dan menyebut semata-mata sebagai edukasi, karena dalam sesana tentang kesulinggihan, walaka tidaklah berwenang memberikan edukasi kepada Sulinggih, dan kewenangan itu ada pada Nabe Sulinggih masing-masing. Jadi, alasan pembenaran tindakan JBS oleh tiga Sulinggih yang berkomentar di media, tidak bisa diterima dalam konteks sesana kesulinggihan,’’ jelas Made Dewantara dan Ketut Artana.

Baca juga :  Pasamuhan Paruman Pandita PHDI se-Bali di Besakih Jadi Bukti Kebohongan Jro Bauddha Suena
Ik-MD-NSUR-RTR//10/2022/f1

Bahwa ada argumen yang menyebut narasi JBS tidaklah menghina, karena tidak menyebut nama perseorangan Sulinggih, tapi yang disebut adalah Sulinggih PHDI MS XII. Hal itu dibantah para kuasa hukum dan sama sekali bukan alasan untuk melepaskan JBS dari potensi adanya unsur pidana. Karena dalam pasal 28 ayat (2) UU ITE, yang berbunyi: Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras dan antar golongan (SARA).

Imbuh Endrawan, ujaran JBS menimbulkan permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat, dalam hal ini dengan menyebut Sulinggih Dresta Bali di PHDI MS XII dan di PHDI lainnya, diam seperti Drona dan Bhisma di Korawa. Jadi tidak ada persyaratan dalam UU ITE tersebut yang dihina atau difitnah itu harus seseorang yang disebut nama abhisekanya. Kemudian jika yang dihina adalah Sulinggih PHDI MS XII seakan-akan tidak memenuhi unsur pelanggaran UU. “Jangan memberi pemahaman keliru ke masyarakat. Karena yang diatur dalam UU ITE itu adalah pelakunya, yakni ‘setiap orang yang dengan sengaja, sedangkan yang di pihak korban, para Sulinggih PHDI MS XII masuk dalam kategori kelompok masyarakat berdasarkan agama Hindu’. Silakan dibaca baik-baik pasal UU ITE-nya,” tegasnya.

Baca juga :  Kakanwil Kemenkumham Bali Dorong Kolaborasi Erat pada Rapat Koordinasi Dilkumjakpol

Sebelumnya, ada tiga Sulinggih mengomentari pelaporan JBS ke Polda Bali dan menyebut bahwa status JBS di Medsos (media Sosial) bukanlah penghinaan. Salah satunya, Ida Bhagawan Agra Segening bahkan mempertanyakan mengapa bukan Sulinggih yang melapor ke Polda?. ‘’Kami tidak menanggapi beliau-beliau tiga Sulinggih tersebut, tapi hanya meluruskan substansi yang kurang tepat menyangkut substansi hukumnya, agar masyarakat tidak keterusan mendapat pemahaman yang keliru,’’ imbuh Ketut Artana dengan menegaskan menghargai tiga Sulinggih yang memberi pendapat atas dilaporkannya JBS oleh Nyoman Iwan Pranajaya di Polda Bali.

Ik-MD-Dr.BGS-RSPR//20/2022/f1

Para kuasa hukum justru menilai dari kajian hukum, status JBS yang menyebut ‘’Sulinggih PHDI MS XII”, lebih luas konteksnya dibanding menyebut Sulinggih perseorangan, karena yang diserangnya adalah lembaga kesulinggihan, di Bali saja dari PHDI Provinsi dan Kabupaten/Kota se-Bali total ada 110 Sulinggih, di Sabha Pandita PHDI Pusat ada 33 Sulinggih, yang mendapat stigma dan cap sebagai Drona dan Bhisma di pihak Korawa, secara langsung menyerang martabat lebih dari 100 Sulinggih tersebut.

‘’Ijinkan kami luruskan selurus-lurusnya, tidak benar pelaporan JBS itu dilakukan oleh PHDI Bali. Itu kekeliruan besar dalam menyimpulkan, seperti kekeliruan orang melihat ketika yang dilaporkan adalah I Dewa Gede Ngurah Swastha, langsung dianggap melaporkan Ketua MDA. Padahal, sekarang sudah jelas, yang dilaporkan adalah Dewa Swastha, bukan dalam posisi sebagai Ketua MDA, tetapi pribadinya. Dan yang bersangkutan juga sudah menegaskan, saat berorasi di Puri Gede Karangasem dalam peresmian kantor PHDI MLB, beliau tidak bicara sebagai MDA ataupun FKUB, walaupun dua jabatan itu ada pada orang yang sama. Dewa Swastha sebagai pribadi bukan MDA dan FKUB, itu beda, dan setiap yang berkomentar di media, mesti memahami konteks ini,” kata Made Dewantara Endrawan.

Baca juga :  “Masuk Bursa Buleleng Satu” Nyoman Tirtawan Divonis 10 Bulan Kasus ITE

Lanjut menegaskan, Iwan Pranajaya melaporkan JBS atas nama dirinya pribadi, tidak membawa-bawa lembaga PHDI Bali. “Kenapa lembaga PHDI tidak dibawa, itu karena pelapor menghormati PHDI sebagai lembaga yang mesti mengayomi semua umat Hindu. Jadi tidak elok kalau lembaga PHDI melaporkan umat Hindu. Juga mendengar arahan Dharma Upapati dan Paruman Pandita PHDI, untuk menjaga martabat kesulinggihan, karenanya Saudara Iwan Pranajaya melapor atas nama pribadi,’’ tandas Made Dewantara Endrawan.

Ketut Artana menambahkan, yang jelas sebagai fitnah dalam status JBS tersebut,’’JBS menyebut Sulinggih PHDI MS XII diam, melakukan pembiaran, terkait keberadaan ISKCON, Sai Baba. Padahal, setidaknya ada Keputusan Paruman 100 lebih Sulinggih Paruman Pandita se-Bali pada 10 Juni 2021 di Besakih, menegaskan sikap Sulinggih, termasuk mengusulkan pencabutan pengayoman Hare Krishna/ISKCON ke PHDI Pusat. Lalu Sabha Pandita PHDI Pusat membuat Keputusan pada 30 Juli 2021 yang berisi perintah mencabut pengayoman Hare Krishna/ISKCON dari PHDI. Tapi, JBS dengan santai menebar informasi bohong di akunnya, menyebut Sulinggih PHDI diam seperti Drona dan Bhisma. Fitnah besar yang memenuhi unsur untuk pelanggaran UU ITE, karena JBS menulis yang tidak benar tentang sulinggih PHDI MS XII,’’ katanya.

Ditambahkan, Sebagai Jro Mangku yang maknanya memangku kebenaran dan kejujuran, mestinya JBS tidak sampai hati ‘’lempas sesana kepamangkuan’’ dengan mengatakan sesuatu yang tidak sesuai fakta tentang Sulinggih PHDI MS XII. Sebagai Jro Mangku yang giat di Medsos, JBS pasti sudah tahu adanya SKB PHDI-MDA 16 Desember 2020. Keputusan Pasamuhan 100 lebih Sulinggih Paruman Pandita PHDI se-Bali, Keputusan Sabha Pandita PHDI Pusat 30 Juli 2021. “Lalu mengapa JBS menyebut Sulinggih PHDI diam seperti Drona dan Bhisma? Bukankah jelas-jelas Sulinggih PHDI MS XII tidak diam, dengan bukti keputusan-keputusan tersebut, dalam menyikapi polemik sampradaya di Bali?” lanjut Artana. Pw-MD

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button