Serap Aspirasi WIUPK, Mayoritas Inginkan PHDI Tidak Masuk Bisnis Tambang
Wayan Sudirta: Problem dan Kompetisinya Sangat “Keras”
DENPASAR, MataDewata.com | Mayoritas elemen organisasi kemasyarakatan Hindu di Bali berpendapat Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) sebaiknya tidak masuk ke bisnis di Wilayah Ijin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK). Kendati ada peluang untuk itu, berdasarkan PP No:25 Tahun 2024 tentang Perubahan PP No: 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral Batubara.
Adapun alasannya, bisnis sektor tambang yang dalam beberapa bulan belakangan ini tengah mendapat sorotan Masyarakat. Terkait tata kelolanya yang merusak lingkungan, adanya korupsi dengan kerugian sampai Rp300 triliun sebagaimana diusut oleh Kejaksaan Agung yang telah menetapkan puluhan orang sebagai tersangka.
Di samping berbagai kemungkinan risiko negatif yang bisa menimpa PHDI, bilamana sektor tambang yang misalnya diambil terlibat sengketa hukum. Apalagi tidak memiliki kompetensi, kapabilitas dan kemampuan yang mumpuni mengatasi permainan mafia di sektor tersebut yang menjadi sorotan utama.
Kalaupun berpartner dengan investor, berkaca dari realitas begitu banyak investor yang tidak melakukan reklamasi di lahan bekas tambang, sehingga kerusakan lingkungan menimbulkan ekses, maka eksesnya bisa menjadi beban PHDI. Selanjutnya, bagaimana mempertanggungjawabkan nama agama dan umat Hindu yang merasa diatasnamakan. Apalagi bila ada umat Hindu yang keberatan, lalu menggugat PHDI karena merasa nama Hindu dibawa-bawa.
Sikap ini antara lain dilontarkan oleh Putu Dika Dedi Suatra dari Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia (KMHDI), Putu Dicky Mersa dari DPP Persatuan Pemuda Hindu (Peradah) Indonesia Provinsi Bali, Arya Gangga dari Pasemetonan Agung Nararya Dalem Benculuk Tegeh Kori (PANDBTK), Guru Gede Widnyana dari Maha Warga Bujangga Wesnawa, Guru Ketut Darmika, Wayan Sukayasa dan Wayan Suyadnya dari Sabha Walaka PHDI Pusat, Ketut Wartayasa dari Paruman Walaka PHDI Bali.
Termasuk dari Sekretaris PHDI Bali, Putu Wirata Dwikora yang dalam memandu Rembug Serap masukan itu memaparkan referensi dari Ormas keagamaan umat di luar Hindu. Memutuskan tidak masuk ke sektor tambang yang dibuka peluangnya oleh pemerintah. Termasuk pernyataan sama yang juga disampaikan Anggota Sabha Walaka PHDI Pusat, Wayan Sudirta.
Wayan Sudirta yang juga Anggota Komisi III DPR RI, memaparkan dengan gamblang data dan fakta tentang problem pertambangan yang kompetisinya sangat “Keras”. Ia mencontohkan, di mana seorang konglomerat tambang yang merasa kuat punya beberapa pesawat pribadi. Tapi akhirnya masuk penjara karena berkonflik dengan investor tambang yang lebih kuat.
Padahal Sudirta mengaku telah menyarankan konglomerat tersebut untuk berdamai dengan konglomerat yang disebutnya lebih kuat itu. Hal itu dikemukakannya, untuk menggambarkan sektor pertambangan yang sedemikian keras dan kejam. Belum lagi dalam realitasnya, lahan bekas tambang yang ditinggalkan begitu saja yang seharusnya direklamasi.
Juga disampaikan untuk di Bangka-Belitung saja, nilai kerugiannya secara ekologis dikalkulasi sampai Rp300 triliun oleh Kejaksaan Agung. Sudirta juga menyinggung tentang dikuntitnya seorang Jaksa Agung Muda Pidsus oleh aparat Densus. Menggambarkan kerasnya “Pertarungan” sektor tambang tersebut.
Pada kesempatan sama juga memberi masukan, PHDI jangan masuk di bisnis pertambangan ini. Sementara bisnis di sektor yang bersifat pelayanan, termasuk PHDI memiliki PT Mabhakti yang bergerak dalam penerbitan buku, atau pelayanan seperti Rumah Sakit, itu tidaklah masalah. Namun, ia mewanti-wanti untuk tidak masuk ke sektor pertambangan yang kesempatannya terbuka melalui regulasi terbaru pemerintah.
Selain aspirasi yang tegas-tegas meminta PHDI tidak mengambil peluang berbisnis di sektor tambang tersebut, ada yang memberikan masukan agar mendengar pihak pemerintah secara lebih jelas dan tegas. Namun, tidak satupun aspirasi yang langsung menyarankan PHDI untuk masuk berbisnis di sektor tambang tersebut.
Ketua PHDI Bali Nyoman Kenak, SH., menegaskan sangat menghargai berbagai masukan dan pandangan yang disampaikan oleh elemen PHDI, Pesemetonan, organisasi pemuda Hindu seperti KMHDI, PERADAH, PANBTK maupun tokoh-tokoh dari Pasemetonan yang hadir.
Di akhir rembug, dibentuk Tim Perumus yang personalianya Ketua dan Sekretaris PHDI Bali, Paruman Walaka PHDI Bali, KMHDI dan Peradah, yang nantinya merumuskan masukan-masukan yang telah diinventarisasi, sebagai bahan bagi PHDI Bali untuk membuat keputusan, yang nantinya dijadikan sikap untuk disampaikan sebagai saran ke PHDI Pusat.
Sekretaris PHDI Bali, Putu Wirata Dwikora dalam memandu serap masukan dan saran tersebut, di awal sudah memaparkan sejumlah referensi, termasuk sikap dari ormas keagamaan umat lain yang memutuskan untuk tidak masuk ke bisnis tambang, walaupun diberikan peluang khusus untuk itu.
Ada yang mendasarkan sikapnya, untuk menjaga posisi moral lembaganya sebagai pengayom umat, termasuk umat yang mengadu ke majelisnya meminta perlindungan dan advokasi karena merasa menjadi korban eksploitasi tambang. Ada juga yang beralasan, tidak memiliki kompetensi dan kuatir terjadi benturan dengan masyarakat adat yang menguasai lahan-lahan yang potensial untuk dieksploitasi tambangnya.
Putu menambahkan, resume dari Tim Perumus yang mempertimbangkan berbagai masukan peserta rapat, nantinya dijadikan dasar oleh PHDI Bali untuk memutuskan, saran dan masukan untuk PHDI Pusat terkait WIUPK, sebagaimana diminta oleh PHDI Pusat. “Sebagai pengayom umat, aspirasi-aspirasi yang telah disampaikan beserta alasan, data dan argumennya, kewajiban kami di PHDI Bali untuk memutuskan, apa sikap yang paling mencerminkan aspirasi mayoritas, beserta argumen-argumennya,” imbuh Putu Wirata Dwikora. Pw-MD