Protes Hukuman “Percobaan” Terdakwa Penodaan “Nyepi”

Majelis Diminta Pertimbangkan Social Justice

DENPASAR, MataDewata.com | Delegasi dari Tim Hukum PHDI Bali yang melakukan advokasi terhadap penegakan hukum dalam penanganan pelecehan Hari Suci Nyepi pada bulan Maret 2023 di Desa Sumberkelampok, melakukan audiensi ke Kejaksaan Tinggi Bali dan Pengadilan Tinggi Denpasar, Jumat (26/7/2024).

Dipimpin Ketua PHDI Bali, Nyoman Kenak, SH., Ketua Tim Hukum Putu Wirata Dwikora, SH.,MH., dan hadir pengurus dan Tim Hukum, Made Bandem Dananjaya, SH.,MH., Wayan Sukayasa, ST.,SH.,M.IKom., Made Dewantara Endrawan, SH., Made Suka Artha, SH., Ketut Wartayasa, S.Ag.,M.Ag., Made Suastika Ekasana, SH.,M.Ag., Putu Dika Adi Suantara dari KMHDI Bali dan Eka Mahardika dari PERADAH Bali.

Di Kejati Bali, delegasi diterima Humas Putu Agus Eka Sabana, SH.,MH., dan Jaksa Ida Bagus Alit, SH., sementara di Pengadilan Tinggi Denpasar, yang menerima adalah Hakim Tinggi Made Seraman, SH.,MH., dan Hakim Tinggi H. Sumino, SH.,M.Hum.

“mi menyampaikan aspirasi umat, agar selain pertimbangan legal justice dalam pemidanaan pelaku, pengadilan agar mempertimbangkan social justice dan moral justice,” kata Putu Wirata Dwikora, Ketua Tim Hukum PHDI Bali. Walaupun mungkin mekanisme legal sudah dilaksanakan, namun vonis hukuman percobaan bagi kedua pelaku dirasakan tidak sesuai rasa keadilan. “Sehingga timbul reaksi sosial dan resistensi umat terhadap putusan tersebut,” imbuh Putu Wirata.

Baca juga :  Usulan WBBM 2024 Didukung Data Akurat, Asep Kurnia Ajak Satuan Kerja Tingkatkan Layanan Publik

“Kami datang ke Kejati Bali, guna menyampaikan dukungan atas upaya hukum banding penuntut umum, atas putusan hukuman percobaan bagi Terdakwa pelaku penodaan hari suci Nyepi di Sumberkelampok. Walaupun tuntutan 6 bulan penjara, dirasakan terlampau ringan dan kurang maksimal, dukungan untuk banding ini penting, agar jangan sampai setelah putusannya hanya hukuman percobaan, nanti bisa saja lebih ringan lagi dalam putusan banding. Itu tidak mencerminkan rasa keadilan dan seakan tidak ada kehadiran negara dalam melindungi kelompok sosial beragama secara setara,” ujar Putu Wirata Dwikora saat bicara di Kejati Bali.

Ia menegaskan jangan sampai, tuntutan yang sudah kurang maksimal, dengan putusan hukuman percobaan, oleh masyarakat Bali dirasakan sebagai tidak ada penghargaan terhadap hari suci Nyepi yang merupakan kearifan lokal yang sangat unik, tetapi memiliki nilai universal.

Putu Wirata juga menambahkan, penegakan hukum dan pengambilan keputusan oleh majelis, agar memperhatikan juga aspek ‘’social justice’’, keadilan dari aspek sosial, dan jangan sampai timbul resistensi terus menerus yang bisa berkembang menjadi terganggunya kerukunan.

Hakim Tinggi Made Seraman menyambut baik kedatangan delegasi Tim Hukum PHDI Bali tersebut. “Semua aspirasi dan masukan sudah kami catat, akan kami sampaikan pertama-tama ke Ketua Pengadilan Tinggi, kedua kepada majelis yang menangani perkara, bahwa kehadiran masyarakat dan aspirasi yang disampaikan, kami pandang sebagai control masyarakat. Namun, majelis tetap independent dalam memutus suatu perkara,” katanya.

Baca juga :  Usut Terus “Insiden Nyepi” di Sumberkelampok, Penyidik Polres Buleleng BAP-kan Ketua PHDI

Seperti diberitakan dalam setahun ini, penodaan hari suci Nyepi terjadi bulan Maret 2023 di Desa Sumberkelampok. Peristiwa hukum tersebut telah diproses oleh Kepolisian Resort Buleleng, Kejaksaan Negeri Singaraja dan Pengadilan Negeri Singaraja, dalam putusan perkara No: 2/Pid.B/2024/PN Sgr, Tanggal 13 Juni 2024 dengan amar antara lain:

1. Menyatakan Terdakwa 1. Acmat Saini dan Terdakwa 2. Mokhamad Rasad tersebut diatas, terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana secara bersama-sama dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia, sebagaimana dalam dakwaan kesatu;

2. Menjatuhkan pidana kepada Para Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara masing-masing selama 6 (enam) bulan;

3. Menetapkan pidana tersebut tidak usah dijalani kecuali jika di kemudian hari ada putusan hakim yang menentukan lain disebabkan karena Para Terpidana melakukan suatu tindak pidana sebelum masa percobaan masing-masing selama 1 (satu) Tahun berakhir;

Baca juga :  Dukungan Elemen Ormas Hindu Diserahkan ke Kejari, JPU “Nyepi Sumberkelampok” Didesak Banding

Namun, putusan tersebut mengecewakan elemen masyarakat dan umat Hindu di Bali. Mereka mendorong Penuntut Umum untuk mengajukan banding serta meminta majelis di Pengadilan Tinggi Denpasar menjatuhkan putusan yang lebih adil, dibanding hanya hukuman percobaan seperti diputus PN Singaraja.

Made Bandem menegaskan, penting untuk menimbulkan efek jera serta sikap saling menghargai diantara umat beragama. Dia juga menekankan pentingnya hukuman yang setara diantara kasus-kasus penodaan agama, agar jangan pada kasus tertentu, hukumannya pidana penjara, tetapi kasus yang lain hanya hukuman percobaan. Padahal, dalam proses persidangan, sama-sama terbukti secara sah dan meyakinkan, ada perbuatan penodaan agama.

Wayan Sukayasa, Made Dewantara dan Made Suka Artha, juga menegaskan, menurut penelitian ICRP, dari 60 kasus delik penodaan agama yang diteliti, rata-rata hukuman yang dijatuhkan adalah 2 tahun penjara. Tapi sangat disayangkan, dalam kasus penodaan Nyepi di Sumberkelampok ini, yang kualitas perbuatan terdakwa sedemikian jelas dan terang melecehkan hari suci Nyepi, hanya dihukum percobaan. Dikuatirkan, hukuman percobaan tidak mampu menimbulkan efek jera, tidak mampu mencegah perbuatan sejenis terhadap symbol-simbol agama yang ada di Indonesia, sehingga kerukunan yang sebetulnya relative baik, perlahan-lahan bisa terdegradasi. Pw-MD

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button