PHDI Provinsi/Kabupaten dan Kota se-Bali Sikapi Polemik Hari Arak Bali
Kuatkan Seremoni “Hari Edukasi” Ingatkan ‘’Panca Wanara Konyer’’

DENPASAR, MataDewata.com | Polemik dan pro kontra penyelenggaraan hari arak Bali yang dicanangkan Gubernur Bali (29 Januari 2023) mendatang termasuk adanya penolakan dari Paiketan Krama Bali, mendapat tanggapan dari Parisada Hindu Dharma Indonesia Provinsi serta PHDI Kabupaten/Kota se-Bali.
PHDI menyatakan, oleh karena sudah diterbitkan Peraturan Gubernur Bali No: 1 Tahun 2020 tentang Tata Kelola Minuman Fermentasi dan/atau Destilasi Khas Bali (diundangkan pada tanggal 29 Januari 2020) yang diperlukan adalah menjaga produksi, distribusi, konsumsi dari arak Bali tersebut dengan mengontrolnya secara baik.

Disisi lain karena nyatanya masih cukup banyak ekses negative yang terjadi di masyarakat, PHDI menyarankan Hari Arak Bali dijadikan hari untuk melakukan edukasi dan sosialisasi tentang minuman fermentasi itu, guna menekan sekecil mungkin ekses negative yang selama ini sudah diketahui memang ada.
Hal itu ditegaskan Ketua PHDI Bali, Nyoman Kenak SH., dan Sekretaris PHDI Bali, Putu Wirata Dwikora, SH., menegaskan hal itu menanggapi pertanyaan media atas polemik dan pro-kontra yang berkembang di media sosial (utamnya).
‘’Kami mendapat arahan Dharma Upapati, Paruman Pandita, kami juga meminta pandangan pengurus PHDI di Paruman Walaka, Pengurus Harian dari seluruh Bali. Mereka sepakat, nyatanya produksi arak/brem, merupakan warisan turun temurun, kalau diminumnya secara terukur, direkomendasikan tidak menimbulkan ekses negatif, ditambah di budaya bangsa lain ada produksi seperti Soju di Korea, Sake di Jepang, maka branding Arak Bali untuk meningkatkan kesejahteraan petani arak/brem, perlu diapresiasi,” ujar Ketua PHDI Nyoman Kenak.

“Namun, kalau mengingat ekses negatifnya bila dikonsumsi berlebihan, sebagaimana Tutur Panca Wanara Konyer, maka yang diperlukan adalah penguatan hari edukasi, dengan seremoni yang kreatif dan mendidik. Kalau itu dilakukan, bagaimana menekan ekses negative, baik secara sosial edukatif, maupun melalui penegakan hukum, masyarakat pasti mendukung. Yang dikuatirkan adalah, jangan sampai perayaan hari arak disalah pahami sebagai ajang pesta minuman beralkohol, apalagi sampai mabuk-mabukan. Kita yakin, bukan itu yang dimaksudkan, karenanya kekuatiran masyarakat dan orang-orangtua yang punya generasi muda, mesti dimaklumi dan diberi keyakinan, bahwa bukan itu yang dirayakan dengan hari arak Bali,’’ imbuh Kenak panjang lebar.
Pernyataan pers majelis agama Hindu di provinsi dan Kabupaten-Kota se-Bali itu mewanti-wanti, hal positif dan negatir dari minuman fermentasi atau beralkohol, sembari mengutip tutur dari ‘’Panca Wanara Konyer’’. Sebagai Lembaga keagamaan umat Hindu, dimana secara ritual arak digunakan sebagai salah satu sarana ritual, dan faktanya memang ada masyarakat Bali yang mengkonsumsi arak dalam batas-batas tertentu yang tidak merusak Kesehatan memang dibolehkan secara turun temurun, namun karena ada ekses negatif yang tidak bisa diabaikan, PHDI merasa sangat perlu memberikan pertimbangan terkait rencana pelaksanaan hari arak Bali pada 29 Januari 2023 mendatang.

Pertama, ujar Nyoman Kenak, minuman fermentasi Arak Bali memang bisa memberi ekses negative, sebagaimana tutur Panca Wanara Konyer. Bila dikonsumsi berlebihan dan tidak ada kemampuan mengendalikan diri, tidak ada regulasi dan penegakan hukum yang ketat, ekses negatifnya sangat jelas ada, katanya, sembari mengutip tutur Panca Wanara Konyer tersebut.
Delapan tingkatan dampak dari minum beralkohol dimulai dari:
1. Eka Padmasari (Minum satu sloki/gelas, bisa menyegarkan tubuh).
2. Dwi Angemertani (Meminum dua gelas atau dua sloki ini akan membangkitkan semangat).
3. Tri Raja Busana (Bila sudah meminum tiga gelas/sloki, wajah sang peminum mulai memerah).
4. Catur Kokila Basa (Bila sudah minum 4 gelas/sloki, si peminum akan mulai ngelantur bicaranya, diibaratkan bagaikan cerukcuk punyah).
5. Panca Wanara Konyer (Saat ini peminum menenggak lima gelas/sloki, ia akan mulai berjoged-joged, bernyanyi-nyayi).
6. Sad Wanara Rukem (Pada tahap peminum sudah menenggak 6 gelas atau sloki maka si peminum mulai pusing kepalanya).
7. Sapta Ketoya Basa (Pada gelas atau sloki yang ketujuh., si peminum akan mudah tersulut emosi dan gampang bertengkar).
8. Asta Kebo Dangkal (Peminum sudah meminum gelas atau sloki yang kedelapan pada tahap ini). Pada tingkatan ini peminum sudah mulai mabuk berat dan bisa saja tak sadarkan diri tidur ngorok.

Mengingat ekses negatif minum arak itu, menjadi sangat penting untuk mengatur peredarannya di masyarakat, sebagaimana sudah diatur dalam undang-undang sampai peraturan gubernur di provinsi. Tapi, dari sisi perilaku, PHDI dan pemimpin lainnya berkewajiban mengingatkan pentingnya mengontrol konsumsi, peredaran, maupun kualitas produksi yang mesti dijaga agar tidak sampai merusak kesehatan masyarakat.
Sekretaris PHDI Bali, Putu Wirata Dwikora juga menegaskan, Peraturan Gubernur Bali No: 1 Tahun 2020 tentang Tata Kelola Minuman Fermentasi dan/atau Destilasi Khas Bali, diterbitkan untuk melindungi, memelihara, mengembangkan dan memanfaatkan minuman fermentasi dan/atau destilasi khas Bali meliputi Tuak Bali, Brem Bali, Arak Bali dan Brem/Arak Bali untuk Upacara Keagamaan. Utamanya dalam mendukung pemberdayaan ekonomi yang berkelanjutan dengan berbasis budaya sesuai dengan visi Nangun Sat Kerthi Loka Bali, sangat perlu untuk disosialisasikan, guna mencegah ekses-ekses negatif dari produksi minuman fermentasi dimaksud, selain tentunya untuk mencapai visi dan misi demi kesejahteraan rakyat secara lebih luas. Pw-MD