KMHDI: Nyepi Ajang Refleksi Terhadap Kelangsungan Bumi
JAKARTA, MataDewata.com | Perayaan Hari Raya Nyepi tahun Saka 1945 menjadi ajang melakukan refleksi terhadap keberlangsungan bumi. Aktivitas Nyepi yang dituangkan dalam praktik Catur Brata Penyepian, meliputi Amati Karya (tidak bekerja), Amati Geni (tidak menyalakan api/cahaya), Amati Lelungan (tidak bepergian), serta Amati Lelangunan (tidak bersenang-senang) memberikan bumi kesempatan untuk melakukan pembersihan dari aktivitas merusak dan eksploitatif manusia.
Hal ini disampaikan Pimpinan Pusat Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia (PP KMHDI) I Putu Yoga Saputra, dalam keterangan tertulisnya menyambut Hari Suci Nyepi tahun 2023, Jakarta, Selasa (21/3/2023). Menurut KMHDI perayaan Nyepi bukan hanya sekadar praktik teologis yang bersumber dari sastra dan kitab suci yang harus dilaksanakan oleh umat Hindu. Namun Nyepi juga mengandung praktik dan nilai-nilai ekologis.
“Hari Suci Nyepi bukan hanya sekedar perayaan yang berdimensi agama, yakni hubungan manusia dengan Tuhan, namun perayaan Nyepi juga menyimpan nilai-nilai ekologis yang mengajari tentang pentingnya manusia untuk berhenti sejenak dan membiarkan Bumi melakukan pembersihan dari aktivitas manusia yang eksploitatif,” terang Ketua Presidium PP KMHDI, I Putu Yoga Saputra.
Yoga Saputra menjelaskan praktik Catur Brata Penyepian dalam kadar tertentu bisa menjadi praktik yang dapat diterapkan di tengah terancamnya keberlangsungan Bumi akibat praktik eksploitatif manusia. Untuk itu ia pun mengajak umat Hindu se-Indonesia untuk menjadikan perayaan Hari Suci Nyepi sebagai ajang refleksi bersama terhadap keberlangsungan Bumi.
Ancaman Perubahan Iklim
Menurut Yoga Saputra keberlangsungan bumi dan manusia yang menempatinya tengah terancam akibat eksploitasi besar-besaran dan praktik industrial yang menyebabkan terjadinya perubahan iklim. Emisi gas rumah kaca yang dihasilkan oleh manusia telah membuat suhu bumi semakin memanas. Akibatnya, Bumi sekarang 1,1°C lebih panas daripada di akhir tahun 1800-an. Dekade terakhir (2011-2020) adalah rekor terpanas.
Lanjut I Putu Yoga Saputra, menambahkan bahwa, akibatnya terjadi kekeringan hebat, kelangkaan air, kebakaran hutan, pencairan es kutub, naiknya permukaan laut, banjir, badai dahsyat, dan penurunan keanekaragaman hayati. Kejadian-kejadian ini telah membuat banyak kerugian baik material maupun non material. Terlebih menurutnya, kerugian paling besar dirasakan oleh kelompok-kelompok yang berkategori rentan, seperti kelompok miskin, petani, nelayan, masyarakat adat, termasuk juga negara-negara berkembang.
“Akibat perubahan iklim ini kelompok-kelompok rentan akan menjadi semakin rentan lantaran mereka tidak mempunyai sumber daya berlebih untuk menanggulangi dampak krisis iklim. Seperti misalnya apabila terjadi kekeringan dan kelangkaan air para petani yang akan menjadi korban. Jika terjadi kenaikan harga pangan akibat kekeringan kelompok miskinlah yang menjadi korban,” ujarnya.
Lebih lanjut I Putu Yoga Saputra, juga menjelaskan sebagai negara kepulauan Indonesia sangat rentan terhadap perubahan iklim. Kenaikan muka air laut dan cuaca buruk berpotensi mengancam kehidupan masyarakat pesisir Indonesia. Selain itu juga mengancam pekerjaan mereka yang rata-rata mayoritas bekerja sebagai nelayan.
Harus Hadirkan Solusi di Tengah Situasi Mendesak
Berdasarkan segala risiko yang ditimbulkan, ancaman perubahan iklim yang kian nyata dihadapi oleh umat manusia di Bumi harus segera dicari solusinya demi kelangsungan bumi dan kehidupan manusia. Dalam hal ini, setiap negara dan manusia harus bertanggung jawab atas apa yang tengah terjadi. Beban tidak hanya dipikul oleh segelintir negara namun harus oleh semua negara. Kendati porsi beban dan tanggung jawab masing-masing negara berbeda.
“Ini karena 100 negara dengan emisi terendah menghasilkan 3 persen dari total emisi. sementara 10 negara dengan emisi terbesar menyumbang 68 persen. Untuk itu negara yang menciptakan lebih banyak masalah seharusnya memiliki tanggung jawab yang lebih besar untuk bertindak terlebih dahulu. Kendatipun tanggung jawab terhadap kelangsungan bumi tetap dipikul bersama,” jelasnya.
Lebih jauh, I Putu Yoga Saputra menjelaskan bahwa sejauh ini forum-forum internasional yang membahas perubahan iklim belum menghasilkan keputusan yang terbilang memuaskan. Sejauh ini beberapa negara belum satu pemahaman soal upaya merespon perubahan iklim. Perdebatan forum-forum tersebut banyak diwarnai soal mekanisme pendanaan, besaran nominal, dan target waktu untuk melakukan transisi energi.
“Beberapa forum pertemuan seperti KTT G-20 di Bali dan Konferensi Iklim COP27 di Mesir sebetulnya telah menghasilkan sejumlah terobosan dalam merespon krisis iklim. Namun tentu mendesak untuk segera direalisasikan sebagaimana kesepakatan Paris 2015 tentang menjaga kenaikan suhu bumi tetap di bawah 2 derajat celcius,” terangnya.
Krisis Ukraina dan Rusia Bisa Memperparah
I Putu Yoga Saputra juga menegaskan bahwa tantangan untuk menjaga suhu bumi akan mendapatkan tantangan dari efek perang Ukraina dan Rusia. Menurutnya perang tersebut telah menyebabkan terjadinya krisis pangan dan energi yang membuat sejumlah negara mengalami perlambatan ekonomi.
Perlambatan ekonomi di sejumlah negara akan memaksa mereka untuk berproduksi lebih sering sehingga akan menghasilkan emisi yang terlempar lebih banyak ke udara dan pada akhirnya suhu bumi akan semakin panas dan memperparah krisis iklim.
“Untuk itu kita bersama harus melakukan refleksi terhadap kelangsungan bumi ke depan. Segala macam kesepakatan yang sudah dihasilkan harus dijalankan. Hari ini komitmen setiap negara dibutuhkan. Untuk itu Nyepi adalah momentum yang tepat untuk melakukan refleksi terkait keberlangsungan bumi,” tutupnya. On-MD