Direktur Jenderal HAM: Kesehatan Mental Adalah Hak Asasi, Bukan Sekadar Isu Medis!

JAKARTA, MataDewata.com | Direktur Jenderal HAM, Dhahana Putra memandang rendahnya kesadaran masyarakat terkait isu kesehatan mental merupakan tantangan bagi pemerintah. Padahal, Kesehatan mental tidak kalah pentingnya untuk diketahui masyarakat sebagai bagian dari hak dasar setiap orang atau warga negara.

“Kesehatan mental bukan hanya persoalan medis, tetapi juga hak asasi manusia. Seperti halnya hak atas kesehatan fisik, akses terhadap layanan kesehatan mental yang berkualitas, inklusif, dan bebas dari stigma mestinya diakui sebagai bagian dari hak setiap orang,” terang Dhahana di Jakarta, Minggu (13/10/2024).

Pernyataan ini sejalan dengan Undang-Undang No:39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang menegaskan bahwa: Setiap orang berhak untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan” (Pasal 9). Ini mencakup hak atas kesehatan mental yang harus diakui dan dilindungi oleh negara.

Baca juga :  Antari Jaya Negara Hadiri Puncak Peringatan HUT ke-44 Dekranas di Surakarta

Untuk mengangkat isu kesehatan mental, Pada tahun 1992 komunitasi internasional yang tergabung dalam World Federation Mental Health (WFMH) memilih 10 Oktober sebagai hari kesehatan mental sedunia. “Tujuannya tidak lain adalah untuk mengkampanyekan kesadaran dan memberikan edukasi kepada masyarakat seluruh dunia akan pentingnya kesehatan mental yang juga adalah bagian dari hak asasi manusia,” terang Dhahana.

Lebih lanjut Diakui Direktur Jenderal HAM, pemahaman terhadap isu Kesehatan mental yang belum memadai di masyarakat di tanah air kerap menimbulkan tindakan diskriminatif. “Mereka yang memiliki persoalan terkait kesehatan mental tidak jarang mendapatkan tantangan untuk mendapatkan akses terhadap pendidikan, pekerjaan dan partisipasi dalam masyarakat,” ujar Dhahana.
Sejatinya, menurut Dhahana pemerintah telah memiliki regulasi untuk mendorong pemenuhan dan penghormatan hak mereka yang memiliki persoalan terkait kesehatan mental atau Penyandang Disabilitas Mental (PDM). Misalnya, dalam UU No:17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) telah mengangkat isu kesehatan mental.

Baca juga :  Bupati Tabanan dan Ketua TP PKK Kabupaten Tabanan Raih Penghargaan Prestisius Manggala Karya Kencana

Dhahana melihat masuknya isu kesehatan mental di dalam UU Kesehatan bukan hal yang tidak berdasar. Pasalnya, jika merujuk pada temuan Kementerian Kesehatan tercatat bahwa 1 dari 4 orang di Indonesia mengalami masalah kesehatan mental pada tingkat tertentu.

Menurut Dhahana, pengabaian terhadap kesehatan mental sama dengan mengabaikan hak asasi manusia. Setiap individu memiliki hak untuk hidup dengan martabat, termasuk mendapatkan perlindungan dan dukungan ketika mengalami masalah kesehatan mental, sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang No: 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, yang menyatakan bahwa: Ppenyandang disabilitas memiliki hak untuk bebas dari stigma, diskriminasi dan mendapatkan layanan kesehatan yang memadai”.

Baca juga :  Dirjen HAM: Pembubaran Diskusi Tidak Sesuai dengan Prinsip Hak Asasi Manusia

“Dengan komitmen bersama, kita dapat menciptakan lingkungan yang mendukung kesehatan mental dan menghormati hak asasi setiap individu. Mari kita berupaya untuk membangun masyarakat yang sehat, berdaya, dan Sejahtera,” pungkas Dhaha.

Sejalan dengan hal tersebut Kakanwil Kemenkumham Bali, Pramella Yunidar Pasaribu menyatakan pemenuhan untuk kesehatan mental juga memerlukan sinergi dari berbagai pihak. “Tidak hanya berhenti di kesadaran saja, tetapi kesadaran tersebut harus bisa menggerakkan sinergi dari berbagai stakeholder untuk memenuhi hak asasi manusia yang berupa kesehatan mental,” ujar Pramella. Kh-MD

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button