DPRD Bali Bahas Raperda Bale Kertha Adhyaksa di Rapat Paripurna
Fraksi Beri Dukungan dan Sorotan Penting

DENPASAR, MataDewata.com | Rapat Paripurna ke-31 Masa Persidangan III Tahun Sidang 2024-2025 DPRD Provinsi Bali menjadi ajang penyampaian pandangan umum fraksi-fraksi terkait Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Bale Kertha Adhyaksa di Bali. Sejumlah fraksi menyatakan dukungan, namun juga memberikan catatan kritis agar regulasi ini dapat berjalan efektif tanpa menimbulkan tumpang tindih kewenangan.
Fraksi PDI Perjuangan, Partai Golkar, dan Partai Demokrat-NasDem sepakat bahwa pembentukan Bale Kertha Adhyaksa adalah langkah strategis memperkuat sistem keadilan restoratif berbasis kearifan lokal. Lembaga ini diharapkan menjadi jembatan antara hukum adat dan hukum positif dalam menyelesaikan sengketa adat, perkara pidana ringan, hingga konflik sosial melalui musyawarah, bukan peradilan formal.
“Bale Kertha Adhyaksa harus dimaknai sebagai kemitraan fungsional dengan Kerta Desa Adat, bukan subordinasi,” tegas juru bicara fraksi, I Gusti Ngurah Gede Marhaendra Jaya, Senin (11/8/2025).
Fraksi gabungan ini juga menekankan lima poin utama: penguatan kelembagaan, koordinasi untuk menghindari tumpang tindih, pengaturan sanksi adat sebagai instrumen pemulihan, dukungan terhadap visi Nangun Sat Kerthi Loka Bali, serta sistem dokumentasi dan pelaporan digital. Sementara itu, Fraksi Gerindra–PSI menyatakan apresiasi terhadap inisiatif Kejaksaan Tinggi Bali, namun mengingatkan potensi beban berlebih bagi desa adat.
“Optimisme harus diimbangi realitas di lapangan. Tanpa sumber daya memadai, Raperda ini bisa sekadar jadi hiasan perpustakaan,” ujar Gede Harja Astawa.
Fraksi Gerindra-PSI juga mengkritisi penggunaan istilah ‘Adhyaksa’ yang identik dengan Kejaksaan, potensi konflik norma dengan Perda Desa Adat Nomor 4 Tahun 2019, hingga inkonsistensi istilah ‘konflik’ dan ‘perkara’. Mereka meminta kejelasan Naskah Akademik dan penjelasan pasal demi pasal sebelum pembahasan dilanjutkan.
Selain itu, fraksi ini menyoroti landasan hukum yang merujuk pada KUHP baru (UU Nomor 1 Tahun 2023) yang baru berlaku 2 Januari 2026. Mereka mengingatkan agar pembahasan memperhatikan aturan pelaksana dan sinkronisasi dengan hukum adat, terutama terkait pidana tambahan berbentuk kewajiban adat.
Meski berbeda penekanan, seluruh fraksi sepakat bahwa tujuan akhir Raperda ini adalah memperkuat peran hukum adat dalam menjaga keharmonisan sosial di Bali. Proses pembahasan selanjutnya diharapkan mampu menghasilkan regulasi yang aplikatif, selaras dengan hukum nasional, dan berpihak pada kepentingan masyarakat adat. Hd-MD



