“Kasi Paham Dua Konsep Brahman” Menyimak Polemik Siwa di Atlas Super Club (ASC)

Nirguna dan Saguna Brahman (Tanpa Bentuk dan Visualisasi)

DENPASAR, MataDewata.com | Setelah penayangan simbol Dewa Siwa di Atlas Super Club (ASC) mendapat protes, somasi, kecaman dan kemarahan yang gaduh dari Umat Hindu, khususnya di Bali, atas dasar alasan bahwa Dewa Siwa dipuja di tempat suci, di Pura, Padmasana dan bukan di klub malam, namun rupanya ada pihak yang merasa penayangan Siwa di klub malam itu tidaklah masalah.

Pihak yang belakangan ini berargumen dan menyangsikan sosok yang tayang di ASC, serta mempertanyakan apakah seperti itu sejatinya wujud Dewa Siwa? Bukankah visualisasi itu mirip dengan bintang film India yang menjadi bintang dalam film Mahadewa dan pernah tayang di televisi? Polemik pun menjadi ajang caci maki, dengan menuding bahwa yang memprotes penayangan simbol Siwa di ASC tersebut telah sesat atau menyesatkan Hindu Dresta Bali? Benarkah demikian?

Bagi Jro Mangku Ketut Artana, SH.,MH., seorang Pemangku (Pemuka Agama) yang juga ngayah sebagai Tim Hukum PHDI Bali, Hindu mengenal (Kasi Paham) dua konsep Brahman atau Tuhan. Yaitu Nirguna Brahman dan Saguna Brahman. Nirguna Brahman adalah tanpa bentuk, tanpa sifat, tak terbayangkan. Diantara Rsi yang sudah “sampai pada Nirguna Brahman” adalah para Jnani, Sanyasi, para penerima anugerah Ilahi atau Kripa, dan orang yang telah melampaui egonya. Disebutkan diantaranya nama-nama seperti Adi Shankaracharya (788–820 M), Rsi Yajnavalkya, Rsi Vasishtha, Rsi Dattatreya, Rsi Ashtavakra.

Ik/MD/PMB-ITB STIKOM Bali//4/2025/fm

Bagaimana halnya Saguna Brahman? Adalah wujud Tuhan/Brahman yang divisualisasikan, pertama secara deskriptif dan untuk menjembatani ketidakmampuan mencapai Nirguna Brahman, dibuatlah visualisasi dalam wujud arca, pahatan, lukisan yang style-nya beragam-ragam sesuai kreativitas budaya dan estetika para penciptanya. Termasuk tentunya Arca Siwa ataupun lukisan Siwa dan dalam konteks modern adalah wujud-wujud secara digital dalam layar LED.

Baca juga :  Wagub Cok Ace Ngaturang Bhakti di Pura Luhur Pucak Petali

Seorang seniman/pencipta arca atau lukisan Siwa versi Jawa, berbeda dengan seniman versi Bali, dan begitu juga kreativitas estetik komunitas lainnya. Namun, mereka semua memuja Brahman ataupun Siwa yang dalam keyakinan imajinatifnya adalah sama. Sosok Siwa di mana mereka berserah diri, tremendum dan takjub terpana tiada tara.

Dan apapun komunitasnya, sepanjang mereka memuja Siwa, tempat memujanya adalah di tempat suci, di pura, di tempat-tempat yang layak, relasinya adalah untuk mengucapkan rasa syukur, memohon keselamatan, memohon segala sesuatu yang baik. Arca atau lukisan Siwa tidak akan dibawa ke klub malam atau semacamnya manakala pemeluk dan penganut menyiapkan diri untuk memujaNya.

Karenanya, wajar kalau mereka yang memuja Siwa dan meyakini Siwa bersemayam didalam bentuk Saguna Brahman, dalam arca-arca, dalam lukisan, dalam imajinasi visual digital, menilai tidaklah layak simbol Siwa ditampilkan di layar klub malam.

Ik-MD-OJK/Bali//27/2024-fm

“Sebagian besar umat manusia yang belum sampai pada capaian rohaniah seperti beliau para Rsi yang Agung, masih berada di tataran Saguna Brahman, yang mengenali Siwa dari sosok visual dalam arca, dalam lukisan, dalam tayangan dan menghormati Beliu dalam wujud seperti itu,” imbuh Jro Mangku Ketut Artana, SH.,MH. Dan mestinya kita menghormati Siwa dalam visualisasi estetika Bali, estetika Jawa, estetika multi-kultur yang hidup di muka bumi ini, estetika Hindu yang menerima Brahman ataupun Siwa sebagai guna-universal.

Baca juga :  PHDI Bali Somasi Terbuka, Viral Kelab Malam Dinilai Lecehkan Agama Hindu

Karena itu, tidak bisa dipahami adanya pandangan bahwa, seseorang merasa tak masalah kalau sebuah klub malam menayangkan Dewa Siwa semata-mata dengan alasan visualisasi yang ditampilkan tidak pernah ia kenal dalam kulturnya, atau tidak yakin apakah memang begitu sosok Dewa Siwa?

Agak menyedihkan narasi dan pertanyaan seperti itu, karena bila dikejar dengan pertanyaan lebih lanjut, apakah yang bersangkutan pernah melihat sosok Dewa Siwa dalam capaian dan waskita-nya, ketika Siwa adalah Nirguna Brahman? Karena Brahman dan juga Siwa itu Acintya (tidak terpikirkan), Anantha (tak terbatas), adakah orang yang meragukan itu pernah melihat/mengenal Siwa yang bukan dan berbeda dari symbol Siwa yang tayang di ASC?

“Saya hanyalah seorang hamba dari Brahman yang penuh keterbatasan, di hadapan Siwa yang tak terbatas, tak terjangkau, tak terpikirkan, dan menghormati Beliau sejak dalam rupa symbol yang divisualkan sampai ketika symbol visual itu diupacarai dalam upacara pemasupatian, menjadi wujud yang sakral. Dan merasakan keyakinan saya pada Siwa itu ternodai, manakala symbol beliau ditampilkan di tempat yang tidak selayaknya,” kata Artana lagi.

Baca juga :  PHDI Mejaya-Jaya, Gelar Ngelawar Bareng dan Doakan Kesuksesan G20
Ik-MD-Bank BPD Bali/12-3/2024/fm

Soal polemik, bahwa selain arca dewa yang sudah dipasupati, tidaklah sakral, statusnya sama dengan benda dari bahan apa arca dibuat, begitu juga lukisan yang tidak diupacarai tidaklah sakral, Artana membenarkannya. Namun, sebagai simbol suci, seperti arca Siwa, atau lukisan Siwa, kendati tidak di-pasupati, tetaplah merupakan symbol suci, yang dirasakan tak layak ditampilkan dalam kegiatan non-ritual.

Kober bergambar dewa-dewa misalnya, kendati tidak dipasopati, tidaklah layak dijadikan dekorasi tempat hiburan, karena kober semacam itu merupakan dekorasi upacara keagamaan Hindu yang bertempat di Pura atau semacamnya. Keyakinan keilahian dan tremendum yang takzim pada kemahakuasaanNya memang subyektif.

Lanjut Ketut Artana, bahwa berdasarkan dua pendekatan untuk mencoba memahami keberadaan Tuhan, Nirguna dan Saguna Brahman, tidaklah perlu menuding mereka yang merasa tersinggung atas Simbol Dewa Siwa yang ditayangkan di ASC, serta bertanya sinis apakah mereka pernah melihat wujud Dewa Siwa seperti itu? Tak seorang pun boleh jumawa seakan lebih mengenal Dewa Siwa, lalu yang lain dituding sesat.

“Kita semua hanyalah makhluk yang serba terbatas, yang dalam Saguna Brahman pun belum tentu mampu menjangkau Beliau. Beliau abadi, tak terbatas, tak terpikirkan oleh pikiran manusia, termasuk pikiran kita-kita ini. Jadi sayang dan memprihatinkan, merendahkan keyakinan semeton Hindu yang memprotes tayangan Siwa di ASC, apalagi menuding mereka sesat dan menyesatkan,” kata Artana. Pw/*l-MD

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button