Ditanya Sikap atas Aksi ‘’Penyegelan’’ Sekretariat PHDI Bali: Kami Dahulukan Asas Ultimum Remedium
Hadirkan Obsi Agar Tidak Berbuntut Hukum Panjang
DENPASAR, MataDewata.com | Tanggal 8 April 2022, sejumlah demonstran yang menuntut pembubaran organisasi PHDI di Jl. Ratna memasang ‘’Garis Kuning’’ di pagar gedung PHDI Bali. Mereka meneriakkan berbagai tuntutan dan tudingan, sementara PHDI Bali dan Kabupaten Kota sedang melakukan Lokasabha di Puspem Badung.
Generasi muda Hindu dalam organisasi KMHDI Bali bahkan menyatakan sangat menyayangkan penyegelan tersebut, karena berdampak terhadap sekretariat KMHDI yang ikut di gedung PHDI Bali Denpasar. Aksi penyegelan itu menimbulkan berbagai kritik dan desakan, agar pelakunya diproses secara hukum karena dinilai sudah melecehkan lembaga milik umat Hindu.
‘’Kami berterimakasih, begitu banyak atensi umat Hindu terhadap aksi yang disebut menyegel sekretariat PHDI. Juga terimakasih tak terhingga kepada aparat kepolisian dari Poltabes Denpasar dan Polda Bali, yang telah mengamankan gedung PHDI yang merupakan aset milik umat itu,’’ kata Ketua PHDI Bali, Nyoman Kenak, SH., dalan siaran persnya, Minggu (10/4/2022).
Desakan-desakan untuk melaporkan pelaku ke aparat penegak hukum juga dimintakan kepada PHDI Bali, agar perilaku serupa tidak ditiru oleh yang lain bilamana tidak diberikan efek jera. Menanggapi desakan-desakan itu, PHDI Bali mengambil sikap tegas. “Sampai titik ini, kami tetap berpegang pada asas ultimum remedium, yang artinya bahwa pemidanaan adalah upaya terakhir. Kami apresiasi perhatian dan simpati umat Hindu yang tidak terima kantor PHDI disegel. Tapi seperti disampaikan Ketua PHDI, kami fokus pada upaya mencari solusi (obsi, red) terhadap berbagai masalah yang tertinggal, dan sangat penting untuk diselesaikan,’’ imbuh Sekretaris PHDI, Putu Wirata Dwikora.
Walaupun penyegelan tanpa kewenangan itu pada prinsipnya bisa diproses hukum dan ada dugaan mengandung unsur pidana. Ditegaskan, pihaknya tetap berpegang pada asas ultimum remedium, peristiwa itu akan diinventarisasi dan komunikasikan dengan aparat penegak hukum, dalam rangka mencegah dampak yang lebih besar dan membahayakan kerukunan, persatuan, kedamaian umat dan masyarakat Bali.
‘’Namun, bila pada skala tertentu, ada tindakan-tindakan yang bisa menjadi ancaman serius dan nyata terhadap lembaga, terhadap kerukunan dan kedamaian umat Hindu maupun bagi bangsa dan negara, pasti kami upayakan proses hukum,’’ imbuh Putu Wirata.
Apakah penyegelan itu tidak menjadi ancaman? Diakuinya, memang video penyegelan pagar gedung PHDI yang beredar di media sosial, memantik kritik dan disayangkan banyak pihak. Namun, kegiatan PHDI berupa Lokasabha, berlangsung dengan baik. Selesai Lokasabha, staff kembali ke kantor PHDI Jl. Ratna tanpa halangan, karena tidak ada lagi pengunjuk rasa. Sementara segel kuning yang tidak permanen, bisa dibuka tanpa kesulitan, untuk selanjutnya aktivitas bisa berlanjut.
‘’Nasihat dari para Pengelingsir PHDI, agar pemasangan garis kuning itu diterima sebagai cara mereka menyatakan tuntutan. Dan sepanjang tidak menimbulkan ancaman yang bisa berdampak besar untuk umat Hindu yang masih rukun dan damai, cukuplah hal itu dikomunikasikan agar mendapat atensi aparat penegak hukum, guna mendapat pembinaan,’’ sambung Putu Wirata lagi.
Kepolisian dan aparat penegak hukum lainnya pun mengedepankan asas ultimum remedium ini. Selain karena memang itu merupakan asas hukum yang prinsip, dengan penegakan hukum yang represif sekarang ini, telah menyebabkan penjara over kapasitas, sehingga narapidana berdesak-desak di sel tahanan, yang menimbulkan beban anggaran cukup berat bagi negara. Pw-MD