Pemagaran Laut 30,16 Km di Tangerang, Ancaman Ekologi dan Kehidupan

3.888 Nelayan Menjadi Korban Utama

JAKARTA, MataDewata.com | Pemagaran laut sepanjang 30,16 kilometer (Km) di pesisir Kabupaten Tangerang, Banten, telah memicu diskusi hangat terkait tata kelola ruang laut, keberlanjutan ekologi dan dampaknya terhadap masyarakat pesisir. Pengamat Maritim dari Ikatan Alumni Lemhannas Strategic Center (ISC), DR. Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa, S.SiT.,M.H., M.Mar., menyoroti bahwa tindakan ini tidak hanya berpotensi melanggar hukum, tetapi juga mengungkap kompleksitas konflik kepentingan antara publik dan privat dalam pengelolaan wilayah pesisir.

“Laut adalah sumber daya publik yang seharusnya dikelola untuk mendukung kesejahteraan seluruh masyarakat. Pemagaran ini mencerminkan kurangnya pemahaman terhadap prinsip ini,” tegas Capt. Hakeng di Jakarta (9/1/2025).

Secara hukum, tindakan pemagaran ini dinilai melanggar sejumlah regulasi, termasuk Undang-Undang No: 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, serta Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No: 31 Tahun 2021 tentang Tata Ruang Laut. Menurut Capt. Hakeng, pelanggaran ini menunjukkan lemahnya pengawasan dan penegakan hukum, serta minimnya kesadaran akan pentingnya pengelolaan sumber daya laut yang berkelanjutan.

Baca juga :  Kinerja Penyampaian SPT Tahunan 31 Maret 2023

Dampak Ekologis yang Merusak
Selain melanggar hukum, dari perspektif ekologi, pemagaran laut juga berdampak merusak. Struktur pagar yang terbuat dari bambu, paranet, dan pemberat pasir mengganggu habitat laut, mengurangi keanekaragaman hayati, dan memengaruhi aliran air laut yang penting bagi ekosistem pantai.

“Laut adalah elemen penting bagi ekologi, menyediakan habitat bagi berbagai spesies dan menjaga keseimbangan lingkungan. Pemagaran seperti ini berisiko mengganggu keberlanjutan ekosistem dan produktivitas perikanan,” tambahnya.

Baca juga :  Bupati Tabanan dan Ketua TP PKK Kabupaten Tabanan Raih Penghargaan Prestisius Manggala Karya Kencana

Dampak Sosial dan Ekonomi bagi Nelayan
Dari sisi sosial, pemagaran ini menimbulkan ketidakadilan bagi masyarakat pesisir, khususnya nelayan tradisional. Sebanyak 3.888 nelayan dan 502 pembudidaya di kawasan tersebut kini harus menempuh jarak lebih jauh untuk menangkap ikan, yang menyebabkan peningkatan biaya operasional dan penurunan produktivitas.

“Pemagaran ini tidak hanya mengurangi akses nelayan terhadap sumber daya laut tetapi juga mengancam keberlanjutan ekonomi masyarakat pesisir secara keseluruhan,” jelas Capt. Hakeng.

Tata Kelola yang Belum Transparan
Menurut Capt. Hakeng, kasus ini juga mencerminkan ketidakjelasan dalam tata kelola proyek yang memanfaatkan ruang laut. Investigasi gabungan berbagai instansi hingga kini belum berhasil mengidentifikasi tujuan akhir pemagaran tersebut. Jika hal ini terkait dengan rencana reklamasi, prosesnya harus dilakukan dengan transparansi dan akuntabilitas penuh.

Baca juga :  Manfaatkan Promo Listrik “Super Dahsyat” Lewat PLN Mobile

“Pemerintah perlu memastikan bahwa setiap proses reklamasi mematuhi standar ekologis dan melibatkan partisipasi masyarakat serta ahli terkait untuk meminimalkan dampak lingkungan,” tegasnya.

Solusi untuk Masa Depan
Kasus ini menggarisbawahi pentingnya penguatan tata kelola ruang laut yang berorientasi pada keberlanjutan, keadilan, dan kesejahteraan. Partisipasi masyarakat lokal harus menjadi bagian integral dari setiap kebijakan pengelolaan ruang laut.

“Laut bukan hanya sumber daya ekonomi tetapi juga identitas dan bagian dari keberlanjutan bangsa. Dengan pendekatan yang melibatkan hukum, ekologi, dan sosial, Indonesia dapat memastikan kekayaan lautnya dinikmati oleh semua lapisan masyarakat secara berkelanjutan,” pungkas Capt. Hakeng. Ch-MD

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button