Dr. Cokorda Lesmana Ungkap Kasus Bunuh Diri di Bali Tertinggi

DENPASAR, MataDewata.com | Akademisi Kedokteran Jiwa dari Universitas Udayana, Dr. Cokorda Bagus Jaya Lesmana, dr.,Sp.K.J.,Subsp.K.(K)., MARS., mengungkapkan faktor tinggi yang menyebabkan seseorang bunuh diri di Pulau Dewata-Bali. Bahkan Bali menduduki peringkat pertama dengan kasus bunuh diri tertinggi pada tahun 2023.

Kasus bunuh diri pun masih berlanjut hingga saat ini. Tentu banyak faktor yang mendasari dan mendorong seseorang untuk bunuh diri. Hal tersebut disampaikan secara langsung saat ditemui di Fakultas Kedokteran Udayana, Jl. P.B Sudirman, Dangin Puri Kelod, Kota Denpasar, Sabtu (6/7/2024).

Dr. Cokorda Lesmana memandang kasus bunuh diri yang terus meningkatkan bersifat emergency dan kompleks. Menurutnya dengan kasus bunuh diri yang terjadi semestinya bisa disadari adanya permasalahan yang terjadi di lingkungan masyarakat.

“Kami melihat dari segi kesehatan mental bunuh diri itu sendiri merupakan sesuatu yang kompleks dan bersifat emergency sesuatu yang gawat darurat. Sehingga ketika Bali menduduki peringkat pertama kasus bunuh diri harusnya kita semua nggeh bahwa ada sesuatu yang salah di masyarakat kita yang membuat harus suatu tindakan segera karena kondisinya gawat darurat,” ujar Dr. Cokorda Lesmana lanjut mengungkapkan faktor-faktor yang mendasari seseorang untuk bunuh diri mulai dari faktor sosial hingga faktor budaya.

Baca juga :  Antisipasi Penyebaran Covid-19, Bandara Ngurah Rai Laksanakan Vaksinasi Booster untuk Komunitas Bandara

“Kalau dilihat kenapa kasusnya meningkat terus tidak terlepas dari kami amati dari dulu banyaknya faktor. Salah satunya faktor sosial yang kita lihat mungkin kedekatan secara sosial mulai renggang dengan individualisme masyarakat. Kemudian juga karena pengaruh secara global semua memegang webnya sehingga apa yang terjadi di luar mempengaruhi internal seseorang,” ungkapnya.

“Secara budaya juga kami melihat yang tadinya ada sanksi sosial dimana kalau orang bunuh diri itu tidak boleh langsung diaben, tidak boleh upacara yang sama dengan orang yang mati biasa tetapi sekarang kami melihat itu dianggap tidak manusiawi sehingga orang yang mati bunuh diri pun upacaranya biasa,” tambahnya.

Lebih jauh, pihaknya menuturkan bahwa masyarakat mengabaikan sanksi sosial yang menjadi benteng dan larangan bagi setiap individu untuk melakukan bunuh diri. Oleh sebab itu, pihaknya mengajak semua pihak untuk turut serta dalam mencegah terjadinya bunuh diri dan memperbaiki sehingga tidak menjadi sebuah kebiasaan.

Baca juga :  Bupati Tabanan: Kesehatan dan JKN adalah Nomor Satu

“Dan melupakan bahwa itu semua adalah sanksi sosial untuk mencegah orang tidak berani melakukan hal tersebut. Tapi karena dianggap biasa akhirnya orang mati dengan bunuh diri itu hal biasa. Bahwa mati dengan bunuh diri adalah suatu pilihan yang normal yang dilakukan oleh siapa saja,” ujarnya.

“Ini yang saya rasa semua pihak terlibat untuk memperbaiki karena ini sudah terjadi kalau dibiarkan terus menjadi sebuah kebiasaan. Lama-lama menjadi budaya, akhirnya budaya Bali yang harus tidak memilih untuk bunuh diri sebagai pilihan jadi pilihan. Ini yang saya rasa perlu dicegah bersama mulai dari keluarga, mulai guru, pendidikan, mulai dari agama, pemerintah dan kesehatan tentunya harus terlibat,” lanjutnya.

Di sisi lain, menurutnya hingga saat ini seseorang yang akan memilih untuk bunuh diri tidak mendapatkan jaminan dari Bapan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dan belum memihak kepada mereka yang mencoba melakukan tindakan bunuh diri tidak mendapatkan tanggungan karena dianggap itukan mereka yang melakukan.

“Padahal tidak ada orang normal yang ingin mati sebenarnya dengan cara bunuh diri pasti ada permasalahan yang mendasari apakah karena tekanan dari kehidupan yang dihadapi membuat mereka merasa depresi, merasa sendiri, tidak ada pilihan sampai pada akhirnya memutuskan untuk bunuh diri. Karena pada dasarnya manusia itu punya insting untuk hidup dan untuk mati tapi apakah kita kan membiarkan insting itu untuk mati itu yang jadi pilihan utama jadi harus kita sikapi bersama,” tentangnya.

Baca juga :  Tim Yustisi Kota Denpasar Kembali Jaring Pelanggar Prokes

Menurut Dr. Cokorda Lesmana, generasi Gen-Z yang selalu dianggap lemah dan rentan untuk bunuh diri tidak sepenuhnya salah mereka. Oleh sebab itu, jangan salahkan anak yang lemah. “Tetapi kita melupakan yang membuat mereka lemah siapa? tidak terlepas dari peran orang tua, perang keluarga. Ini yang saya harapkan jangan menyalahkan anak-anaknya tapi mari kita introspeksi bersama karena keluarga, lingkungan harus juga dilihat bahwa hasil yang kita buat seperti ini loh, mereka lemah, mereka mudah rentan dengan permasalahan yang dihadapi,” tuturnya.

“Karena kita yang tidak cukup memberikan rasa aman dan rasa dicintai yang diharapkan tersebut. Sehingga pilihan bunuh diri harusnya tidak ada untuk anak-anak sekarang,” tandasnya. On-MD

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button