Pembahasan Resort Dekat Pura Bukit Gumang: Cari Solusi, Perlu Kajian dan Samakan Persepsi
DENPASAR, MataDewata.com | Pembahasan pembangunan resort di dekat Pura Dang Kahyangan Bukit Gumang, Kabupaten Karangasem, Rabu (5/7/2023) atas undangan Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Provinsi Bali, bersama PHDI Kabupaten Karangasem, berlangsung kondusif. Setelah didalami, rupanya ada implikasi dari berlakunya regulasi yang baru, dimana tidak ada kewenangan di tangan Pemkab Karangasem yang terkait perijinan, seperti pengusulan sistem Online Single Submission (OSS) yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat.
Juga ditemukan adanya dua norma yang berbeda, yakni dalam Perda Tata Ruang Wilayah Karangasem dalam Perda No: 17/2020 dan Perda Bali tentang Arahan Sistem Zonasi No: 8/2015 yang untuk kepastian hukumnya memerlukan kajian dan konsultasi-konsultasi dengan pendekatan hukum maupun pendekatan kemasyarakatan lainnya. Terkait keamanan dan ketertiban masyarakat, yang mewakili Kapolda Bali mengingatkan, sebaiknya selama ijin belum lengkap dan belum final, tidak dilakukan pembangunan terlebih dahulu.
Perda Tata Ruang Karangasem tidak memberikan ruang untuk membangun akomodasi pariwisata di Zona Penyangga, tetapi di Perda Bali tentang Arahan Sistem Zonasi, Zona Penyangga ada pengaturan yang memungkinkan pembangunan akomodasi pariwisata.
Hadir dalam rapat tersebut, Ketua DPRD Karangasem, Wayan Suastika, Wakil Bupati Karangasem Wayan Artha Dipa, Gubernur Bali diwakili Bagian Kesra, Dinas Lingkungan Hidup Karangasem, Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kabupaten Karangasem, Ketua PHDI Karangasem, Ketua PHDI Kecamatan Karangasem, Ketua PHDI Kecamatan Manggis, utusan dari Kapolda Bali, sementara Prajuru Desa Adat Bugbug berhalangan hadir, karena pada hari bersamaan sedang sibuk menyelenggarakan Upacara Aci di desa adat tersebut.
Ketua PHDI Bali, Nyoman Kenak, didampingi Sekretaris PHDI Bali Putu Wirata Dwikora, Paruman Walaka yang diwakili Ketut Wartayasa, S.Ag.,M.Ag., Wakil-wakil Ketua dan Pengurus PHDI: Wayan Sukayasa, Made Suarta, Mangku Wayan Wenen, Agung Kesumajaya, SH.,MH., Nyoman Patra, SH., Bagus Sapta Tenaya, Aribudi Dwikayana, Putu Wira Dana, IGB Artana.
Nyoman Kenak dan Putu Wirata Dwikora menyampaikan, bahwa sekitar bulan April 2023, datang secara bergiliran dua kelompok warga dari Desa Bugbug. Yang pertama, Wayan Mas Suyasa dkk, menyampaikan perihal adanya pembangunan resort di dekat Pura Bukit Gumang yang mereka sebut melanggar Bhisama Kesucian Pura Dang Kahyangan, yakni Pura Bukit Gumang, dengan menginformasikan bahwa titik resort sekitar 1,3 km dari zona inti, berdasarkan pencarian dari googlemaps.
Kelompok kedua, Ngurah Purwa Arsana dkk, datang untuk mengklarifikasi perihal pembangunan resort yang ditolak tersebut, dengan menjelaskan bahwa Karangasem yang daerahnya miskin, sangat berkepentingan terhadap investor dan investasi. Purwa yang anggota DPRD Bali ini menyampaikan, perijinan sudah dalam proses, dan sudah mendapat persetujuan dari Bupati Karangasem, Gede Dana.
Wakil Bupati Karangasem, Wayan Arta Dhipa, dalam rapat tanggal 5 Juli 2023 tersebut menegaskan, pihaknya sebetulnya tidak tinggal diam terhadap apa yang berkembang dalam pro-kontra dua pihak di Desa Bugbug tersebut. Disampaikannya, bahwa sampai hari terakhir, investor sudah memegang 4 jenis perijinan. Yakni Rekomendasi NIB (Nomor Induk Bereusaha) tanggal 2 Pebruari 2022, PKKPR (Program Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang) tanggal 14 September 2022, Sertifikat Standar tanggal 29 Mei 2022, dan PKPLH (Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan Lingkungan Hidup) tanggal 22 Juni 2023, dan ijin-ijin lainnya masih dalam proses.
Ditanya tentang sudah adanya kegiatan pembangunan, sementara kelengkapan ijinnya masih ada yang dalam proses, Arta Dipa menyatakan, Pemkab Karangasem sudah beberapa kali memberikan teguran agar pembangunan baru dilakukan setelah ijinnya lengkap, namun teguran tersebut tidak diindahkan.
Tentang posisi titik proyek resort dalam konteks Kawasan Suci Pura Dang Kahyangan khususnya Pura Bukit Gumang dalam Perda No: 17 Tahun 2020 tentang Tata Ruang Kabupaten Karangasem, Arta Dipa menegaskan, dilengkapi penjelasan dari Dinas PUPR Karangasem, bahwa titik proyek berada pada jarak 1,3 km dari zona inti, dan posisinya ada di zona Penyangga dan Zona Pemanfaatan, menurut pembagian zona tata ruang kawasan suci. Dijelaskan, selain Perda Tata Ruang No. 17/2020, ada Perda No. 8/2015 tentang Arahan Peraturan Zonasi Sistem Provinsi, yang dirujuk untuk mengakomodasi, bahwa keberadaan lokasi resort dalam Zona Penyangga dan Zona Pemanfaatan.
Karenanya, jelas Wakil Bupati Karangasem, ditilik dari Perda Tata Ruang Karangasem No: 17/2020, sepertinya ada ketidaksesuaian antara peraturan dengan fakta di lapangan. Namun, bila merujuk pada Perda No: 8/2015, sepertinya keberadaan resort tersebut masih dalam koridor regulasi yang memperbolehkan. Walaupun,” imbuh Arta Dipa.
Dari segi rasa sebagai umat Hindu di Bali, pembangunan akomodasi di Zona Penyangga itu rasanya kurang sreg, dan ia merasa lebih pas isi dari Perda Tata Ruang Karangasem No: 17/2020. Namun, karena Perda No: 8/2015 memberi ruang untuk pembangunan akomodasi pariwisata di Zona Penyangga. “Kalau ada aspirasi yang berbeda, silakan dikonsultasikan dengan Pemerintah Provinsi,” imbuhnya.
Sekretaris PHDI Bali, Putu Wirata Dwikora menyatakan, aspirasi warga yang datang ke PHDI Bali memang melandasi penolakannya pada pembangunan resort dekat Pura Gumang yang sekitar 1,3 Km tersebut, berpijak dari Bhisama Kesucian Pura dan Perda No: 17/2020 tentang Tata Ruang Wilayah Kabupaten Karangasem. Sementara yang pro pembangunan, mengajukan argumen
‘’Kami akan pelajari dan dalami lagi tentang Perda Arahan Zonasi tersebut,’’ lanjut Putu Wirata, dalam forum pertemuan tersebut.
Usai rapat, Sekretaris PHDI Bali tersebut menegaskan, memang pada ada pengaturan tentang apa yang boleh dan tidak boleh di Pura Sad Kahyangan dan Dang Kahyangan, yang diatur pada pasal 43, 44, 45. Namun, karena pertemuan tanggal 5 Juli 2023 tersebut dimaksudkan untuk menginventarisasi data, regulasi yang ada, serta proses yang masih berlangsung, tidak ada keputusan yang diambil. Apalagi, adanya perbedaan norma dalam pengaturan apa yang boleh dan tidak dibolehkan di Zona Inti, Zona Penyangga dan Zona Pemanfaatan, dalam Perda Arahan Zonasi Provinsi Bali dengan Perda Tata Ruang Kabupaten Karangasem.
‘’Kami menghargai kehadiran semua pejabat pemegang otoritas dan berharap ada solusi yang baik untuk menegakkan regulasi yang ada, menjaga Bhisama Kesucian Pura PHDI, serta mempertemukan para pihak yang bersilang pendapat terkait pembangunan resort didekat Pura Bukit Gumang,’’ imbuh Putu Wirata.
Isi lengkap pengaturan Perda Arahan Sistem Zonasi Bali adalah sebagai berikut:
Pasal 43
Arahan peraturan zonasi kawasan tempat suci pura Sad Kahyangan tipe I, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 huruf e angka 1, meliputi:
a. kegiatan yang diperbolehkan, meliputi:
1. pada zona inti dapat dimanfaatkan untuk : hutan lindung, hutan rakyat, kawasan pertanian, ruang terbuka hijau, kegiatan keagamaan, fasilitas penunjang kegiatan keagamaan, rumah jabatan pemangku atau penjaga pura bersangkutan, dharma pasraman, dan cagar budaya yang telah ada;
2. pada zona penyangga dapat dimanfaatkan untuk : hutan lindung, hutan rakyat, kawasan pertanian, ruang terbuka hijau, fasilitas dharmasala, pasraman, dan permukiman penduduk pengempon/pengemong yang telah ada, fasilitas penunjang kegiatan sosial ekonomi masyarakat setempat skala lingkungan; dan3. pada zona pemanfaatan dapat dimanfaatkan untuk: hutan rakyat, kawasan pertanian, ruang terbuka hijau, permukiman penduduk setempat, bangunan-bangunan yang memiliki nilai sejarah, ilmu pengetahuan, dan budaya, wisata spiritual, pementasan kesenian, dan fasilitas penunjang kegiatan sosial ekonomi masyarakat setempat skala kawasan.
b. kegiatan yang diperbolehkan dengan syarat, meliputi:
1. pada zona inti dapat dimanfaatkan untuk : wisata spiritual, pementasan kesenian, parkir terbatas, permukiman penduduk setempat yang telah ada;
2. pada zona penyangga dapat dimanfaatkan untuk : wisata spiritual dan wisata budaya, pementasan kesenian, parkir pemedek dan wisatawan, permukiman penduduk setempat yang telah ada, serta usaha penyediaan akomodasi;dan
3. pada zona pemanfaatan dapat dimanfaatkan untuk : permukiman penduduk setempat, industri kecil kerajinan rumah tangga dan usaha penyediaan akomodasi.
c. kegiatan yang tidak diperbolehkan, meliputi kegiatan di luar sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b yang berpotensi dapat menurunkan nilai kesucian kawasan.
d. intensitas pemanfaatan ruang, meliputi:
1. ketinggian bangunan tidak lebih dari satu lantai di zona inti;
2. KWT sangat rendah pada zona inti, rendah pada zona penyangga dan sedang pada zona pemanfaatan;dan
3. bangunan yang diperbolehkan pada zona inti tidak menggunakan basemen.
e. prasarana dan sarana minimum yang dibutuhkan, meliputi:
1. akses jalan untuk pejalan kaki atau kendaraan yang aman sesuai kebutuhan;
2. jaringan listrik dan telekomunikasi;
3. jaringan air minum setempat pada zona inti dan penyangga dan
4. jaringan air minum perpipaan maupun non perpipaan pada zona
5. pemanfaatan;
6. fasilitas sanitasi minimal toilet di zona inti, sanitasi lainnya di zona penyangga dan zona pemanfaatan;dan
7. sistem pengelolaan sampah.
f. ketentuan lain yang dibutuhkan, meliputi:
1. proporsi luas zona kawasan tempat suci, sekitar 40% (empat puluh persen) untuk zona inti, 30% (tiga puluh persen) untuk zona penyangga, dan 30% (tiga puluh persen) zona pemanfaatan dari luas kawasan tempat suci dan/atau disesuaikan dengan kondisi setempat;
2. ketentuan mengenai deliniasi zona inti, zona penyangga dan zona pemanfaatan masing-masing kawasan tempat suci, ditetapkan lebih lanjut dalam Peraturan Daerah tentang rencana rinci tata ruang serta peraturan zonasi kawasan;
3. penerapan gaya arsitektur tradisional Bali;
4. disediakan jarak bebas tertentu bangunan penunjang kegiatan keagamaan terhadap sisi terluar penyengker pura pada zona inti;dan
5. penempatan sarana dan prasarana lingkungan penunjang kegiatan keagamaan memperhatikan nilai-nilai kesucian dan konsep hulu teben.
Pasal 44
Arahan peraturan zonasi kawasan tempat suci Pura Sad Kahyangan tipe II, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 huruf e angka 2, meliputi:
a. kegiatan yang diperbolehkan, meliputi:
1) pada zona inti dapat dimanfaatkan untuk : hutan rakyat, kawasan pertanian, ruang terbuka hijau, kegiatan keagamaan, bangunan penunjang kegiatan keagamaan, rumah jabatan pemangku atau penjaga pura bersangkutan, cagar budaya yang telah ada, serta permukiman pengempon/pengemong pura yang telah ada;
2) pada zona penyangga dapat dimanfaatkan untuk: hutan rakyat, kawasan pertanian, ruang terbuka hijau, fasilitas dharmasala, pasraman, bangunan fasilitas umum penunjang kegiatan keagamaan, permukiman penduduk setempat, pementasan kesenian sakral, dan fasilitas penunjang kegiatan sosial ekonomi masyarakat setempat skala lingkungan;dan
3) pada zona pemanfaatan dapat dimanfaatkan untuk : hutan rakyat, kawasan pertanian, ruang terbuka hijau, permukiman pengempon/pangemong, penyungsung, penyiwi pura dan permukiman penduduk setempat lainnya, fasilitas penunjang kehidupan sosial ekonomi masyarakat setempat skala kawasan.
b. kegiatan yang diperbolehkan dengan syarat, meliputi:
1. pada zona inti dapat dimanfaatkan untuk: fasilitas penunjang wisata spiritual dan wisata budaya, pementasan kesenian, parkir pemedek dan pengunjung, fasilitas makan dan minum, dan fasilitas sanitasi setempat;
2. pada zona penyangga dapat dimanfaatkan untuk : wisata budaya dan wisata alam, fasilitas penunjang pariwisata, pementasan kesenian yang tidak menurunkan nilai-nilai kesucian pura, tempat parkir pemedek dan wisatawan, fasilitas sanitasi setempat, permukiman penduduk setempat lainnya, usaha penyediaan akomodasi, industri kerajinan dan industri rumah tangga yang tidak menimbulkan pencemaran lingkungan;dan
3. pada zona pemanfaatan dapat dimanfaatkan untuk : permukiman penduduk, usaha-usaha kerajinan dan industri rumah tangga yang tidak menimbulkan pencemaran lingkungan, bangunan fasilitas penunjang kegiatan sosial ekonomi pelayanan skala kawasan, dan usaha penyediaan akomodasi.
c. kegiatan yang tidak diperbolehkan, meliputi kegiatan yang tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf
b yang berpotensi dapat menurunkan nilai kesucian kawasan tempat
suci.
d. intensitas pemanfaatan ruang, meliputi:
1. ketinggian bangunan tidak lebih dari satu lantai di zona inti;
2. KWT sedang pada zona inti, sedang sampai tinggi di zona penyangga dan zona pemanfaatan;dan
3. pada ketentuan kegiatan yang diperbolehkan dan diperbolehkan dengan syarat dapat menggunakan basemen, bila berada di zona pemanfaatan.
e. parasarana dan sarana minimum yang dibutuhkan, meliputi:
1. jalan akses pejalan kaki dan jaringan jalan sesuai kebutuhan dan
skala pelayanan;
2. jaringan listrik sesuai kebutuhan;
3. jaringan telekomunikasi;dan
4. jaringan prasarana lingkungan meliputi jaringan air minum,fasilitas sanitasi setempat atau terpadu, pengolahan limbah, dan pengelolaan sampah sesuai skala pelayanan.
f. ketentuan lain yang dibutuhkan, meliputi:
1. proporsi luas zona kawasan tempat suci, sekitar 20% (dua puluh persen) untuk zona inti, 30% (tiga puluh persen) untuk zona penyangga dan 50% (lima puluh persen) zona pemanfaatan dari luas kawasan kesucian pura dan atau disesuaikan dengan kondisi sertempat;
2. deliniasi zona inti, zona penyangga dan zona pemanfaatan kawasan kesucian tiap kawasan tempat suci, ditetapkan lebih lanjut dalam Peraturan Daerah tentang rencana rinci tata ruang atau peraturan zonasi kawasan;
3. penerapan gaya arsitektur tradisional Bali;
4. disediakan jarak bebas tertentu bangunan penunjang kegiatan keagamaan terhadap penyengker terluar pura pada zona inti;dan
5. penempatan sarana dan prasarana lingkungan penunjang kegiatan keagamaan memperhatikan nilai-nilai kesucian dan konsep huluteben.
Pasal 45
Arahan peraturan zonasi kawasan kesucian pura Sad Kahyangan tipe III, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 huruf e angka 3, meliputi:
a. kegiatan yang diperbolehkan, meliputi:
1. pada zona inti dapat dimanfaatkan untuk : hutan rakyat, kawasan pertanian, ruang terbuka hijau, kegiatan keagamaan, bangunan penunjang kegiatan keagamaan, rumah jabatan pemangku atau penjaga pura bersangkutan, cagar budaya yang telah ada, serta permukiman masyarakat pengempon/pengemong pura yang telah ada;
2. pada zona penyangga dapat dimanfaatkan untuk : hutan rakyat, kawasan pertanian, ruang terbuka hijau, fasilitas dharmasala; pasraman; bangunan fasilitas umum penunjang kegiatan keagamaan, permukiman pengempon/pangemong pura dan penduduk setempat di luar kawasan lindung, pementasan kesenian, dan fasilitas penunjang kegiatan sosial ekonomi masyarakat setempat skala lingkungan;dan
3. pada zona pemanfaatan dapat dimanfaatkan untuk : hutan rakyat, kawasan pertanian, ruang terbuka hijau, permukiman
4. pengempon/pangemong, penyungsung, penyiwi pura, penduduk setempat dan penduduk pendatang di luar kawasan lindung, fasilitas penunjang kegiatan sosial ekonomi masyakat skala kawasan.
b. kegiatan yang diperbolehkan dengan syarat, meliputi:
1. pada zona inti dapat dimanfaatkan untuk : wisata spiritual dan wisata budaya, pementasan kesenian, parkir pemedek dan wisatawan, fasilitas makan dan minum, dan fasilitas sanitasi template yang tidak menurunkan nilai-nilai ksucian pura;
2. pada zona penyangga dapat dimanfaatkan untuk : wisata budaya dan wisata alam, pementasan kesenian, parkir pemedek dan wisatawan, fasilitas sanitasi setempat, permukiman, usaha-usaha kerajinan dan industri rumah tangga yang tidak menimbulkan pencemaran lingkungan, usaha penyediaan akomodasi, fasilitas penunjang kegiatan sosial ekonomi skala kawasan;dan
3. pada zona pemanfaatan dapat dimanfaatkan untuk : permukiman, industri kerajinan dan rumah tangga yang tidak menimbulkan pencemaran lingkungan, usaha penyediaan akomodasi, bangunan fasilitas penunjang kegiatan sosial eknomi pelayanan skala kawasan.
c. kegiatan yang tidak diperbolehkan, meliputi:
1. fasilitas hiburan malam;dan
2. kegiatan yang tidak memenuhi ketentuan kegiatan dan
pemanfaatan ruang yang diperbolehkan dan yang diperbolehkan
dengan syarat atau kegiatan di luar huruf a dan huruf b yang
berpotensi dapat menurunkan nilai kesucian kawasan.
d. intensitas pemanfaatan ruang, meliputi:
1. ketinggian bangunan tidak lebih dari satu lantai di zona inti;
2. KWT sedang pada zona inti, sedang sampai tinggi di zona penyangga dan zona pemanfaatan;
3. pada ketentuan kegiatan yang diperbolehkan dan diperbolehkan dengan syarat dapat menggunakan basemen, bila berada di zona pemanfaatan.
e. parasarana dan sarana minimum yang dibutuhkan, meliputi:
a) 1. jalan akses pejalan kaki dan jaringan jalan sesuai kebutuhan dan skala pelayanan;
b) 2. jaringan listrik sesuai kebutuhan;
c) 3. jaringan telekomunikasi;dan
d) 4. jaringan prasarana lingkungan meliputi jaringan air minum, fasilitas sanitasi setempat atau terpadu, pengolahan limbah, dan
e) pengelolaan sampah sesuai skala pelayanan.
f. ketentuan lain yang dibutuhkan, meliputi:
1. proporsi luas zona kawasan tempat suci, sekitar 10% untuk zona
inti, 20% untuk zona penyangga dan 70% zona pemanfaatan dari
luas kawasan kesucian pura dan atau disesuaikan dengan kondisi
sertempat;
2. deliniasi zona inti, zona penyangga dan zona pemanfaatan kawasan
kesucian tiap kawasan tempat suci, ditetapkan lebih lanjut dalam
Peraturan Daerah tentang rencana rinci tata ruang atau peraturan
zonasi kawasan;
3. penerapan gaya arsitektur tradisional Bali;
4. disediakan jarak bebas tertentu bangunan penunjang kegiatan
keagamaan terhadap penyengker terluar pura pada zona inti;dan
5. penempatan sarana dan prasarana lingkungan penunjang kegiatan
keagamaan memperhatikan nilai-nilai kesucian dan konsep hulu
teben. Pw-MD