Yayasan Puri Kauhan Ubud Bumikan Wariga dan Usadha Bali
Gelar Dharma Panuntun
GIANYAR, MataDewata.com | Serangkaian Program Sastra Saraswati Sewana 2023, Yayasan Puri Kauhan Ubud menggelar acara Dharma Panuntun dengan tema Wariga Usadha Siddhi (Membumikan Sistem Perhitungan Waktu dan Keunggulan Ilmu Pengobatan Bali).
Hadir memberikan Dharma Penuntun, Ida Pedanda Gede Rai Gunung Ketewel (Penglingsir Dang Kerta Perkumpulan Dharmopadesa Pusat Nusantara dari Grya Bakbakan Gianyar), Ida Pedanda Gede Buruan (Grya Sanding Pejeng) dan Romo Dukun Eko Warnoto (Ketua Pandhita Dukun Tengger Brang Kulon).
Penanggap, Prof. Dr. Drs. I Made Surada, MA (Guru Besar UHN), Prof. Dr. rer.nat. Drs. I Made Agus Gelgel Wirasuta, Apt.,MSi., (Guru Besar MIPA UNUD) dan Dr. Putu Suta Sadnyana, SH.,MH (Ketua DPP Gotra Pangusada Bali), yang dilaksanakan di Puri Kauhan Ubud Gianyar dan ditayangkan secara live streaming di Puri Kauhan Ubud TV, Rabu (1/3/2023).
Ketua Yayasan Puri Kauhan Ubud, AAGN. Ari Dwipayana menyampaikan, sebagai lumbung sastra, Bali mewarisi berbagai warisan literasi baik tentang perhitungan waktu yang disebut Wariga dan ilmu pengobatan yang disebut Usadha, yang terdokumentasikan dengan baik dalam bentuk lontar.
“Wariga dan Usadha diturunkan dari nilai-nilai adiluhung dalam budaya Bali yang menempatkan Bhuwana Agung (makro kosmos) dan Bhuwana Alit (mikro kosmos) dalam relasi/hubungan yang selaras dan harmonis,” Ari Dwipayana.
Ari menyampaikan bahwa banyak ahli yang menyebutkan sistem wariga Bali adalah sistem yang unik dan paling kompleks di dunia. wariga terdiri dari lima kerangka yakni Wewaran (Eka Wara hingga Dasa Wara), Pawukon (Wuku Sinta hingga Watugunung), Pananggal-Panglong (Purnama dan Tilem), Sasih (Sasih Kasa hingga Sada), dan Dauh. Kalender Saka Bali merangkum lima kerangka wariga tersebut.
Masyarakat Bali juga percaya bahwa kehidupan manusia harus senantiasa menjaga keharmonisan dengan perputaran jagadraya. Ketidakselarasan akan menimbulkan gangguan, hambatan dan juga dukkha (penderitaan, kesakitan dan kesengsaraan). Karena itu, setiap manusia Bali diminta untuk sadar tentang waktu.
Selanjutnya, Ari juga menyebutkan bahwa Bali juga memiliki warisan lontar-lontar pengobatan yang berlimpah. Usadha adalah ilmu pengobatan tradisional Bali yang beragam dari sisi cara pengobatannya. Termasuk lontar-lontar yang memuat tentang tanaman obat, seperti termuat dalam lontar Taru Premana.
Ari mengingatkan agar warisan pengetahuan tentang tanaman obat ini bisa menjadi solusi dari persoalan kesehatan dalam masyarakat. Dari sisi preventif, tanaman obat harus bisa dimanfaatkan untuk mendukung paradigma hidup sehat yang mengintegrasikan secara menyeluruh antara fisik, mental, spiritual, kebugaran tubuh, pikiran, dan tumbuh kembang jiwa.
Dari sisi kuratif, tanaman obat juga bisa diolah untuk menyembuhkan penyakit. Sehingga, bisa dikembangkan dan disambung dengan industri farmasi di dalam negeri untuk menurunkan ketergatungan pada obat-obat impor. Ke depan, Ari mengajak untuk memanfaatkan warisan pengetahuan dari para leluhur menjadi solusi membangun kesehatan masyarakat, bukan hanya bagi masyarakat Bali, tetapi untuk Indonesia dan dunia.
Dalam menutup sambutannya, Ari Dwipayana yang juga Koordinator Staf Khusus Presiden menegskan bahwa program Wariga Usadha Siddhi yang diselenggarakan tahun 2023 ini, akan fokus pada tiga hal: Pertama, mempertemukan para ahli/ ilmuwan dari berbagai Perguruan Tinggi di Bali dengan para praktisi di masyarakat.
Tujuannya untuk mendapatkan kesamaan visi dalam pengembangan wariga dan Usadha di Bali. Kedua, menemukan solusi konkret dalam menghadapi tantangan dan kendala dalam pengembangan kedua pengetahuan tradisional Bali tersebut. Ketiga, mengenalkan wariga dan Usadha secara luas, terutama di kalangan generasi muda.
Turut hadir dan memberikan pengantar, Staf Khusus Presiden bidang kebudayaan, Sukardi Rinakit yang menyampaikan apresiasinya kepada Yayasan Puri Kauhan Ubud yang selalu konsisten dalam upaya melestarikan budaya Bali. “Saya meyakini para leluhur Bali berhasil meminjam catatan Tuhan, karena kita bisa mengenal wawaran, wuku, penanggal/pengelong, sasih dan dauh. Tanpa “sembah roso” leluhur Bali kita tidak akan tau kapan hari baik dan laku baik” pungkasnya. Sr-MD